Oleh : Alif Fikri
Editor : Ida Bastian
Radikalisme berkedok agama masih menjadi ancaman nyata di era digital. Masyarakat pun diminta untuk terus mengantisipasi penyebaran paham tersebut agar keutuhan bangsa dapat terus terjaga.
Penyebarluasan paham radikal memang merupakan hal yang sangat meresahkan dan sudah sepatutnya bisa diberantas hingga ke akarnya. Ketika seseorang sudah disusupi radikalisme di dalam dirinya, maka bukan tidak mungkin orang tersebut akan dengan sangat mudah untuk dicuci otak sehingga mampu direkrut dalam anggota teroris dan dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan keinginan kelompok teroris tersebut bahkan tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan.
Bukan hanya merupakan tindakan yang mematikan kesadaran bernalar, namun hal tersebut juga tentu sangatlah merugikan serta mengancam stabilitas keamanan negara. Apalagi belakangan sering terjadi penyebaran radikalisme yang dibalut dengan ajaran-ajaran agama sehingga membuat orang sangat terbuai akan dalil-dalil agama tersebut.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar menyatakan bahwa sangatlah penting untuk bisa terus mengantisipasi adanya penyebaran radikalisme, apalagi jika hal tersebut dibalut dengan kedok agama. Kewaspadaan tersebut utamanya harus benar-benar bisa disalurkan kepada para generasi muda penerus bangsa lantaran mereka masih dalam tahap mengenali jati dirinya dan sangatlah rawan apabila terjebak dalam kajian-kajian yang biasanya berkedok agama namun di dalamnya ternyata sangat kental dengan gagasan radikalisme serta berujung aksi terorisme.
Karena para generasi muda ini kelak akan menjadi pemimpin bangsa, maka memang harus sejak dini mereka dibekali dengan rasa Nasionalisme yang kuat supaya tidak mudah terpengaruh pada paham radikal termasuk agar mereka dengan mudah dapat membedakan mana dakwah yang memang menyejukkan umat dan mana dakwah yang justru di dalamnya mengandung banyak provokasi.
Kewaspadaan tersebut harus benar-benar ditekankan dan menjadi hal yang sangat penting menurut Boy Rafli, lantaran dia menunjukkan adanya data yang menyatakan kalau Indonesia sendiri berada pada posisi ke-24 dari 162 negara di dunia menurut Global Terrorism Index (GTI) 2022 yang memiliki potensi ancaman terorisme tinggi.
Ditambah lagi dengan adanya masa yang serba digital seperti sekarang ini justru membuat penyebarluasan paham radikal menjadi semakin mudah dilakukan oleh siapa saja, termasuk akan semakin mudah diakses oleh siapa saja. Tidak dipungkiri di Indonesia sendiri yang memang memiliki jumlah masyarakat sangat banyak.
Sesuai data United Nation, semenjak pandemi Covid-19 memang kegiatan penyebaran radikalisme banyak terjadi di media sosial. Masyarakat Indonesia sendiri dalam catatan tersebut merupakan orang yang sangat banyak berselancar di internet dengan 202 juta jumlahnya, yang mana 80 persen diantaranya terdaftar memiliki akun media sosial, dengan 60 persen diantaranya merupakan kalangan muda.
Data ini menjadi sangatlah menarik apabila para propagandis ajaran radikalisme dan gerakan terorisme mengetahuinya. Dengan sebanyak itu jumlah kalangan muda, mereka akan menjadi sasaran sangat empuk untuk dilakukannya kegiatan cuci otak berkedok agama sehingga membuat mereka menjadi para anggota kelompok teroris untuk melancarkan aksinya dengan dalih membela agama.
Lebih lanjut, Kepala BNPT juga menambahkan bahwa biasanya tidak jarang kelompok radikal dan teroris ini memanfaatkan sentimen kaum muda kepada pemerintah dengan terus menggemborkan isu-isu miring terkait jalannya pemerintahan supaya mereka mudah untuk membenci dan merasa seolah memang harus ada suatu gerakan untuk mampu merubah keadaan.
Jika terjadi sedikit saja ketimpangan dalam pelayanan publik dan pemerintah, maka secara otomatis kelompok-kelompok ini akan langsung bergerak dengan cepat menyebarkan kebencian dengan mencari-cari kesalahan pemerintah karena hal tersebut merupakan pintu masuk awal supaya bisa membuat orang lain yang hendak dipropaganda turut timbul kebencian pada negara.
Ketika rasa benci pada negara telah timbul, maka ujungnya pasti adalah segala daya upaya untuk bisa mendelegitimasi kekuatan pemerintah dengan menggantinya dengan gagasan negara-negara ideal yang sebelumnya telah diajarkan oleh kelompok radikal dan teroris tersebut.
Menurut Boy Rafli, tidak ada agama yang mengajarkan praktik kekerasan untuk dilakukan dan dibenarkan, apalagi hanya untuk mewujudkan keinginan atau cita-cita kelompok dengan tidak mengindahkan bagaimana dampaknya pada masyarakat luas.
Sementara itu, Rektor IPDN Hadi Prabowo juga memberikan pernyataan bahwa awal mula terjadinya tindakan terorisme adalah bermula pada adanya intoleransi terlebih dahulu. Kemudian jika sudah ada intoleransi tadi, maka berkembang menjadi semakin ekstrem ke golongan tertentu dan akhirnya menjadi radikal dan sangatlah mudah terpicu untuk melakukan upaya kekerasan atau terorisme untuk mencapai tujuan.
Tentu saja hal tersebut harus benar-benar mampu diwaspadai. Maka dari itu seluruh kaum muda jangan pernah mudah untuk terbawa pada kelompok-kelompok tertentu, yang justru menggunakan agama sebagai kedok padahal aslinya hanyalah bertujuan untuk menyebarluaskan kebencian supaya lebih mudah mendoktrinasi dan akhirnya akan berujung pada upaya terorisme. Sangat penting menggunakan akal sehat dan mampu membedakan mana bentuk pengajaran agama yang menyejukkan dan sama sekali tidak mengandung ujaran kebencian atau kekerasan.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute