Oleh: Martin Surtono
Editor: Ida Bastian
Portalindonews.com – Menjelang Pilkada 2024, situasi politik di Indonesia mulai memanas yang ditandai oleh intensitas kampanye yang semakin gencar, termasuk meningkatnya ketegangan antar kelompok pendukung kandidat. Dalam kondisi seperti ini, semua pihak perlu waspada dan berupaya mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Demokrasi harus berjalan damai dan gembira, bukan dengan kekerasan atau intimidasi.
Salah satu cara untuk mencegah terjadinya ketegangan adalah dengan mengedepankan pendidikan politik yang sehat. Pemahaman yang baik mengenai pentingnya demokrasi dan cara-cara yang sehat dalam berpolitik merupakan hal dasar yang perlu dimiliki setiap individu. Edukasi politik yang sehat tentunya bisa didapatkan melalui berbagai media, seperti seminar, diskusi publik, dan kampanye di media sosial. Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat akan lebih bijak dalam menyikapi berbagai isu politik dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Selain pemerintah dan aparat keamanan yang memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban selama masa Pilkada, masyarakat juga harus ikut berperan aktif di dalamnya, salah satunya dengan ikut mengawasi jalannya Pilkada guna mencegah terjadinya kecurangan. Partisipasi masyarakat juga dapat diwujudkan dalam bentuk kampanye damai yang mengajak semua pihak untuk menjaga kerukunan dan menghindari kekerasan.
Kewaspadaan terhadap potensi penyebaran ujaran kebencian dan hoaks yang dapat memicu konflik harus terus ditingkatkan. Dalam era digital seperti sekarang ini, informasi dapat dengan mudah menyebar luas dalam waktu singkat. Terlebih lagi, di daerah-daerah yang memiliki intensitas politik sangat tinggi, hoaks bisa memicu ketegangan di tengah masyarakat yang berpotensi menimbulkan aksi-aksi anarkisme. Kondisi seperti ini tidak boleh terjadi di Indonesia.
Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah Sumatra Utara (Pilkada Sumut) akan menjadi salah satu ajang pemilihan kepala daerah paling panas di Indonesia akibat pergulatan politik yang sangat sengit.
Selain Sumut, Karyono juga menilai bahwa provinsi ‘terpanas’ lainnya dalam Pilkada Serentak 2024 adalah Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Bali, yang semuanya berkorelasi dengan agenda elite politik nasional dan faktor perebutan kekuasaan lokal. Lima provinsi tersebut juga beririsan dengan persaingan politik nasional yang dilatarbelakangi oleh residu politik Pilpres dan Pileg 2024 serta gengsi politik yang turut mempengaruhi.
Dengan mengetahui peta politik, masyarakat bisa menyikapi Pilkada serentak 2024 dengan bijak, namun tetap waspada. Memahami dinamika politik membantu mengantisipasi potensi sengketa yang mungkin muncul, meskipun tidak diharapkan. Dalam hal ini, peran Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting. MK harus bersikap tegas dan adil dalam menangani setiap sengketa Pilkada untuk memastikan proses demokrasi berjalan dengan lancar dan menghasilkan pemimpin yang legitimate.
Ketua MK, Suhartoyo menjelaskan bahwa kewenangan MK dalam mengadili sengketa Pilkada diturunkan dari UU 10/2016 Pasal 157 ayat 3 Tahun 2016, hingga terbentuknya peradilan khusus tentang Pemilu. Ketika permohonan diajukan pada tahun 2022-2023, peradilan khusus tersebut belum terbentuk, sementara Pilkada Serentak sudah mendekat. Oleh karena itu, MK mengabulkan permohonan melalui putusan 85 Tahun 2022, yang mempermanenkan kewenangan MK dalam menangani sengketa Pilkada.
Suhartoyo menegaskan bahwa hal ini merupakan kebutuhan untuk mengantisipasi jalannya Pemilu dan Pilkada di masa depan. Ia juga meragukan keberadaan peradilan Pemilu jika terbentuk, mengingat kekuasaan kehakiman hanya terdiri dari MA dan MK. Kewenangan menangani sengketa Pilkada semula berada di MA, namun kemudian dipindahkan ke MK oleh pembentuk undang-undang, meski hingga kini peradilan khusus tersebut belum terbentuk.
Sementara itu, Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Herwyn J.H. Malonda menerangkan bahwa Bawaslu berperan penting dalam mengatur jalannya Pemilu dan Pilkada serta menangani tantangan yang mungkin terjadi. Hal ini berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran dalam pesta demokrasi yang tentunya tidak diharapkan terjadi.
Terdapat empat jenis pelanggaran yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, yaitu pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi, pelanggaran administrasi yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), serta tindak pidana. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai masing-masing jenis pelanggaran beserta aturan dan rekomendasi, berdasarkan informasi dari akun resmi Bawaslu.
Pertama, yakni pelanggaran kode etik dalam Pilkada yang merupakan pelanggaran terhadap etika penyelenggaraan pemilihan didasarkan pada sumpah dan/atau janji yang diucapkan sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pilkada. Penanganan atas pelanggaran kode etik ini direkomendasikan oleh Bawaslu kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Kedua, pelanggaran administrasi dalam Pilkada, mencakup pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pilkada. Penanganan pelanggaran administrasi ini diteruskan oleh Bawaslu kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai tingkatan yang relevan.
Ketiga, pelanggaran administrasi yang bersifat TSM, merupakan pelanggaran administrasi pemilihan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Laporan mengenai pelanggaran ini diterima, diperiksa, dan diputuskan oleh Bawaslu Provinsi.
Terakhir berkaitan dengan pelanggaran tindak pidana dalam Pilkada. mencakup pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilihan sebagaimana diatur dalam UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Penanganan pelanggaran tindak pidana ini diselesaikan oleh Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) yang telah dibentuk oleh Bawaslu.
Selain empat jenis pelanggaran utama tersebut, terdapat pula pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Jenis pelanggaran ini didasarkan pada hasil kajian yang mengategorikannya bukan sebagai dugaan pelanggaran pemilihan, namun termasuk dugaan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Rekomendasi penanganan pelanggaran ini diteruskan oleh Bawaslu kepada instansi yang berwenang.
Dengan memahami jenis-jenis pelanggaran ini, diharapkan penyelenggaraan Pilkada 2024 dapat berlangsung dengan lebih baik dan tertib, serta mampu mengantisipasi potensi konflik yang dapat muncul selama proses pemilihan berlangsung. Mari songsong Pilkada 2024 dengan semangat persatuan dan kedamaian, menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang dewasa dan bermartabat.
Penulis adalah pemerhati politik dari Saptalika Institute