Oleh : Awaludin
Editor : Ida Bastian
Tiap warga negara Indonesia tidak boleh terlibat radikalisme, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka adalah abdi negara oleh karena itu tidak boleh jadi penghianat negara dengan jadi kader radikalisme.
Menjadi pegawai negeri adalah impian bagi sebagian besar warga negara Indonesia karena gaji dan tunjangannya relatif tinggi, sementara nanti saat pensiun tenang karena masih mendapatkan uang. Oleh sebab itu tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) selalu dipadati oleh pendaftar.
Ketika sudah diterima jadi Aparatur Sipil Negara (ASN) maka ada sederet peraturan yang mengikat. Amatlah wajar karena tidak setiap orang bisa jadi ASN dan memang mereka memiliki tanggungjawab yang tinggi. Aturan yang ada mulai dari jam kerja, kedisiplinan, hingga larangan akan keterlibatan dengan radikalisme.
Mengapa harus radikalisme? Penyebabnya karena paham itu terlarang di Indonesia dan sebagai pegawainya negara, seorang ASN tidak boleh pro dengan kelompok yang bertentangan dengan Indonesia.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa seorang Aparatur Sipil Negara harus menjauhi radikalisme dan terorisme. Terutama pada pejabat tinggi madya. Walaupun sudah memiliki kriteria tetapi jika ketahuan terkait radikalisme maka tidak bisa terpilih. Malah akan mendapat teguran keras.
Menteri Tjahjo melanjutkan, untuk mengetahui apakah seorang ASN terlibat radikalisme dan terorisme, maka amat mudah karena ada jejak digitalnya. Untuk peraturan anti radikalisme seorang ASN di media sosial maka berlaku juga untuk istri atau suami dari ASN tesebut.
Dalam artian, seorang pegawai negeri memang harus menjaga omongan di dunia maya dan tidak boleh sembarangan atau ketahuan terlibat radikalisme, karena akan mendapat teguran keras dari atasannya. Bahkan jika parah ia bisa terancam pemecatan, karena seorang abdi negara tidak boleh jadi penghianat negara dengan jadi anggota kelompok radikal dan teroris.
Mengapa pasangan dari ASN juga terkena aturan anti radikalisme? Penyebabnya karena masalah etika, dan tentu banyak orang yang tahu bahwa ia adalah istri atau suami dari ASN, akan sangat mencoreng muka saat ketahuan terlibat radikalisme. Jika ia selalu sesumbar bahkan membangga-banggakan jihad, bisa jadi pasangannya juga teracuni radikalisme dan terorisme.
Ketika ada istri yang terlibat radikalisme sementara sang suami adalah ASN dan ia tidak mengetahuinya, maka ia dianggap tidak bisa mendidik istri. Itu adalah kesalahan fatal karena radikalisme dan terorisme adalah hal yang terlarang. Oleh karena itu sebagai pasangan, wajib untuk mengawasi media sosial pasangannya, bukannya posesif tetapi untuk mencegah keburukan seperti radikalisme.
ASN wajib bebas radikalisme karena amat berbahaya jika ia terlibat di dalamnya. Bisa jadi ia memanfaatkan posisi dan jabatannya untuk menyuburkan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Atau, ia menyumbang gajinya untuk kegiatan radikalisme dan malah nekat korupsi demi mendapatkan banyak uang demi mendukung radikalisme.
Seorang ASN yang terlibat radikalisme akan mendapat beberapa jenis hukuman, mulai dari teguran keras hingga pemecatan. Memang hukumannya keras karena seorang ASN digaji oleh negara sehingga tidak boleh jadi kader radikalisme dan terorisme yang bermusuhan dengan negara.
Aparatur sipil negara adalah abdi negara dan wajib setia pada negara. Mereka tidak boleh jadi penghianat negara dengan terlibat radikalisme dan terorisme. Penelusuran terhadap ASN yang radikal dan teroris juga dilakukan di media sosial dan mereka tidak boleh barbar dan seenaknya, bahkan parah sampai menghina negara sendiri, karena akan mendapat teguran keras dari kepala dinas.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor