Oleh : Yogi Purbananda
Editor : Ida Bastian
Peralihan energi konvensional menjadi energi hijau menjadi topik penting dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Dengan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah forum tersebut, maka transisi energi tersebut diharapkan dapat segera terwujud.
Indonesia menjadi Presidensi KT G20 tahun 2022. Pada tahun ini temanya adalah: Recover together, recover stronger. Banyak negara anggota G20 akan memperbaiki kondisinya, terutama ekonomi, di tengah pandemi yang belum usai. Selain itu salah satu misi Indonesia dalam KTT G20 adalah mempromosikan transisi energi nasional menjadi energi hijau.
Mengapa harus energi hijau? Pertama, energi konvensional tidak berkelanjutan. Dalam artian, energi konvensional saat ini adalah hasil olahan dari fosil yang tentu persediaannya terbatas. Jika tidak ada penemuan baru maka stok fosil akan habis dalam waktu 9 tahun saja. Sementara cadangan batu bara akan habis selama 65 tahun ke depan, sedangkan cadangan gas bumi diperkirakan akan habis hanya dalam 22 tahun.
Sebelum cadangan energi konvensional benar-benar habis maka Indonesia memang harus beralih ke energi hijau, sehingga masyarakat tidak akan kaget karena ada masa peralihan dan bisa beradaptasi. Jangan sampai ketika fosil habis baru mencari sumber energi lain. Selain itu sumber energi hijau juga sudah ada, yakni pembangkit listrik tenaga angin dan tenaga surya.
Dalam KTT G20 Indonesia mempromosikan transisi dari energi konvensional ke energi hijau karena memang bermanfaat. Jika semua negara kompak beralih ke energi hijau maka manfaatnya yang pertama adalah lebih cinta bumi. Penyebabnya karena energi konvensional menghasilkan asap buangan yang beremisi tinggi dan menyebabkan polusi serta bisa mengurangi kadar ozon.
Berbeda dengan energi hijau maka lebih ramah lingkungan karena rendah emisi dan rendah karbon. Di Britania Raya yang terlebih dahulu menggunakan energi hijau, maka terbukti tingkat emisinya turun 8,4%.
Indonesia mengajak negara-negara lain untuk turut migrasi ke energi hijau dari energi konvensional. Jika emisi lebih rendah maka akan berpengaruh baik juga ke warganya karena tidak sesak nafas di jalanan dan juga lebih sehat. Ketika emisi lebih rendah maka udara lebih segar dan menarik para wisatawan asing karena mereka tidak takut akan polusi, sehingga meningkatkan devisa negara.
Sementara itu, Jepang juga mendukung langkah Indonesia yang akan transisi ke energi hijau. Bahkan menjanjikan bantuan teknologi jika ada perpindahan ke energi baru terbarukan. Tawaran ini amat menarik karena Indonesia bisa lekas melakukan transisi energi dan menjadi percontohan bagi negara-negara anggota G20 lainnya.
Indonesia sudah membangun Pembangkit Listrik Tenaga angin (PLTA) tahun 2018 di Sidrap, Sulawesi Selatan. Bahkan PLTA ini diklaim sebagai yang terbesar di
Asia Tenggara. Dengan adanya PLTA ini maka negara-negara anggota G20 akan melihat contohnya lalu menirunya.
Negara-negara G20 lain juga memiliki minat yang besar pada transisi energi karena mereka sadar bahwa mau tak mau cadangan fosil dunia akan habis. Sebelum bumi gelap gulita karena bahan bakar habis, maka wajib mencari energi alternatif yakni energi hijau. Selain lebih berkelanjutan maka juga ramah lingkungan.
Momentum KTT G20 menjadi masa yang amat penting karena Indonesia menjelaskan pentingnya transisi dari energi konvensional ke energi hijau. Kita tidak bisa bergantung pada persediaan gas dan minyak dunia. Namun wajib mempersiapkan energi alternatif yang terbarukan dan lebih cinta bumi. Negara-negara anggota G20 akan menyetujuinya dan juga melakukan transisi energi.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute