Oleh : Zakaria
Editor : Ida Bastian
Dunia maya menjadi sasaran empuk kelompok radikal dan mereka menyebarkan ajarannya di sana. Masyarakat patut mewaspadai radikalisme di internet, agar tidak terjeblos dan dijadikan kader baru oleh kelompok radikal.
Anak muda dan dunia maya bagai 2 sisi mata uang yang tak terpisahkan, karena membuka media sosial dan browser sudah jadi makanan sehari-hari. Lewat internet mereka bisa berinteraksi dengan kawan-kawan yang jauh di mata dan mengapresiasi dirinya sendiri. Dunia maya juga bisa jadi ajang berjualan dan meluaskan market.
Akan tetapi kita wajib waspada karena dunia maya tidak sama dengan dunia nyata. Ada beberapa sisi negatif di internet, salah satunya adalah penyebaran aliran negatif seperti radikalisme. Kelompok radikal sudah cukup ‘gaul’ dan memanfaatkan sosial media dan website untuk mencari anggota jaringan baru, dan waspadailah, jangan sampai anak remaja malah terjembab dalam radikalisme.
KH Khariri Ma’mun, Wakil Direktur Eksekutif International Conference of Islamic Scholar memperingatkan tentang radikalisme di dunia maya. Menurut kiai muda ini, sudah banyak kelas online melalui radikalisme. Jika dulu kaum radikal hanya menebarkan racun pemikiran lewat tulisan, tetapi sekarang sudah melek IT dan paham bagaimana cara mengadakan online class.
KH Khariri melanjutkan. untuk mencegah radikalisme maka seharusnya BNPT mengawasi penyebaran radikalisme di dunia maya, karena mereka saat ini sudah bisa memanfaatkan Zoom. Dalam artian, ketika ada yang memberi informasi mengenai kelas online yang mencurigakan, seharusnya bisa langsung ditelusuri lalu dicegah. Sebelum semuanya terlambat.
Kelas-kelas online memang patut diwaspadai, karena mereka menggunakan banyak modus. Salah satunya adalah dengan memberi tampilan menarik, sehingga banyak yang mau mengikuti kelasnya, apalagi diadakan secara gratis dan ada iming-iming hadiah. Awalnya dibilang bahwa kelas ini untuk membela keyakinan, ternyata malah dicekoki ajaran radikalisme.
Pengajar dalam kelas online juga mencari simpati sehingga kaum muda jadi akrab, misalnya dengan menyediakan konsultasi gratis, bahkan meminjamkan fasilitas. Namun itu hanyalah akal bulus mereka, karena lama-lama mengadakan doktrinisasi jarak jauh. Proses pencucian otak inilah yang menjadi awal petaka, karena banyak yang mau jadi anggota kelompok radikal.
Penggunaan kelas online dianggap lebih efektif untuk menyebarkan radikalisme, apalagi di tengah pandemi, di mana banyak orang lebih menjaga jarak. Walau via dunia maya tetapi kaum radikal masih bisa menyebarkan ajarannya yang sesat. Selain itu, ajakan di dunia maya juga cukup efektif, daripada cara-cara lama seperti kaderisasi secara langsung lalu diajak berjihad ke luar negeri atau lewat jalur pernikahan.
Pemerintah bisa menggandeng banyak pihak untuk mencegah hadirnya kelas online yang bermuatan radikalisme. Pertama dengan mengutus polisi siber untuk membasmi akun-akun radikal di media sosial, lalu dilaporkan ke pengelola sosmed tersebut, tujuannya agar akunnya dinonaktifkan. Kedua, jika mereka punya situs juga bisa di-take down agar tidak menyebarkan radikalisme lebih luas.
Cara ketiga adalah dengan memberi himbauan kepada orang tua, mereka wajib mendampingi anak-anak, terutama pada usia remaja. ABG yang masih labil jangan dibiarkan untuk mengurung diri di kamar sambil membuka internet, karena bisa saja mereka terjeblos dalam bujukan kaum radikal. Eratkan hubungan baik agar keluarga solid dan tidak ada yang terkena radikalisme.
Kelas online radikalisme sangat berbahaya karena bisa menjaring banyak kader baru, dan sebagai masyarakat kita bisa turut mengawasi, lalu melapor ke polisi siber. Cara lain adalah dengan melaporkan ke Google DMCA sehingga situs radikal bisa ditutup. Jangan sampai anak dan remaja terkena racun radikalisme via online.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute