Dinamika global saat ini yang penuh dengan ketidakpastian secara langsung dan tidak langsung telah memberikan dampak signifikan bagi Indonesia. Isu-isu global seperti perang Rusia-Ukraina, sanksi ekonomi Rusia, penurunan target produksi minyak dunia, dan lain sebagainya, menyebabkan terjadinya lonjakan harga minyak dunia yang juga turut membuat harga patokan minyak mentah Indonesia (ICP) melambung tinggi.
Menyikapi fenomena tersebut, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya mengatakan bahwa tren harga minyak dunia terus mengalami kenaikan sejak awal tahun hingga masuk di semester kedua menyentuh pada nilai USD 105 / barel.
Hal tersebut tentu memberikan tekanan terhadap anggaran subsidi dan kompensasi energi yang dianggarkan pemerintah.
Pada awal tahun 2022, pemerintah melalui APBN mengalokasikan 152,5 Triliun untuk anggaran subsidi dan kompensasi dengan asumsi dasar harga minyak dunia masih berkisar USD 60. Kenaikan harga minyak dunia yang terus signifikan mendorong pemerintah untuk melakukan penyesuaian anggaran subsidi kompensasi sebesar 502,4 Triliun yang tertuang melalui perpres 98/2022.
Berly melihat bahwa kenaikan kurs Dollar terhadap Rupiah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anggaran subsidi kompensasi menjadi besar. Data Bloomberg menunjukan kurs rupiah ditutup melemah 0,09 poin atau 13 poin ke Rp 14.895 per dolar AS. Hal ini memberikan gambaran bahwa terjadinya beban berat terhadap APBN negara.
Oleh karenanya, Berly memandang bahwa bila hal tersebut terus terjadi hingga akhir tahun, diperkirakan APBN membutuhkan sekitar 196 Triliun hanya untuk alokasi subsidi dan kompensasi. Disisi lain, permasalahan yang terjadi adalah subsidi yang dilakukan pemerintah dinilai kurang tepat sasaran.
Hal lainnya yang juga perlu dilakukan pemerintah adalah penyediaan mekanisme khusus bagi warga masyarakat untuk dapat mengajukan diri sebagai penerima bantuan sosial. Hal ini guna melancarkan proses distribusi bantuan sosial menjadi lebih tepat sasaran dan jangkauan. Hal tersebut tentu menunjukan bahwa ditengah ketidakpastian global yang menyebabkan harga BBM melambung tinggi, pemerintah masih dapat mengatasi persoalan tersebut dan bahkan justru memiliki dampak positif bagi masyarakat yang membutuhkan, melalui skema perlindungan sosial Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Dengan kata lain penyesuaian harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah tidak semata-mata menghilangkan subsidi untuk rakyat, tetapi justru mentransformasikan subsidi tersebut melalui mekanisme skema perlindungan sosial agar nilai guna subsidi tepat sasaran. Sehingga sudah tepat seyogyanya penyesuaian harga BBM dilakukan oleh pemerintah, agar nilai distribusi subsidi memiliki manfaat bagi masyarakat yang berhak mendapatkannya.
Sebelumnya, pengamat isu-isu strategis, Prof. Imron Cotan mengungkapkan bahwa penyesuaian harga BBM akan mampu menghadirkan keadilan untuk masyarakat sekaligus upaya Pemerintah melakukan efisiensi APBN bagi pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Hal tersebut dikarenakan selama ini memang sistem pemberian subsidi mengacu pada jenis komoditas BBM yang terdistribusi sehingga mulai dilakukan pembenahan dengan dialihkan untuk berfokus pada masyarakat yang membutuhkan saja.
“Saya melihat Pemerintah itu sangat _prudent_ dengan cara mengefektifkan distribusi dari BBM bersubsidi yang tadinya diberikan subsidi kepada produk-produk Pertamax, Pertalite dan Solar, sekarang dana subsidi yang tadinya dialokasikan ke 3 komoditas itu dialihkan kepada subsidi ke orang-orang atau sasaran yang tepat,” pungkasnya.