Oleh: Nana Gunawan
Editor: Ida Bastian
Portalindonews.com – Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak sedikit pula masyarakat yang mengeluhkan mahalnya harga pangan tersebut. Hal ini bisa menjadi momentum bagi Pemerintah untuk bertindak serius melakukan diversifikasi pangan lokal non-beras untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Indonesia memiliki keberagaman sumber dan budaya pangan lokal yang kaya. Maka dari itu, Pemerintah harus bisa membangun kemandirian pangan masyarakat agar tidak terpaku pada pangan lokal beras. Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori mengatakan bahwa defisit dan kenaikan harga beras merupakan fenomena yang berulang apabila mendekati bulan Ramadan. Hal itu menjadi pertanda bahwa Pemerintah memiliki peluang untuk serius mendorong diversifikasi pangan lokal.
Ancaman melambungnya harga dan langkanya stok persediaan beras membuat masyarakat diharuskan untuk kembali pada bahan pangan lokal sumber karbohidrat lain. Sejumlah bahan pangan lokal sebenarnya merupakan sumber karbohidrat yang tidak kalah baik atau bahkan lebih baik dari beras atau nasi. Akan tetapi, hegemoni beras di mayoritas wilayah Indonesia menyebabkan sejumlah sumber karbohidrat lainnya kerap terlewatkan. Padahal, mengganti beras dengan alternatif karbohidrat lain bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian.
Direktur Pusat Riset Pangan Berkelanjutan Universitas Padjajaran (Unpad), Ronnie Susman Natawidjaja mengatakan pentingnya diversifikasi pangan lokal sudah kembali bergulir dengan adanya Badan Pangan Nasional (Bapanas). Kebijakan diversifikasi ini harus dijalankan secara serius, sungguh-sungguh, terfokus, dan terencana hingga saat ini. Anggaran yang digunakan pun harus memadai dengan penggunaan inovasi serta teknologi modern.
Pemerintah juga memiliki Undang-Undang yang memayungi kebijakan diversifikasi pangan. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi telah mengamanatkan diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras dan terigu.
Ronnie menambahkan bahwa strategi diversifikasi pangan merupakan kebijakan penting untuk melepaskan kerawanan secara politis karena terlalu dominannya peran padi atau beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat. Ketergantungan ini menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran apabila terjadi kenaikan harga beras. Akibatnya, masyarakat menjadi rentan untuk diprovokasi oleh berita-berita hoaks yang beredar di berbagai platform digital. Melihat fenomena tersebut, Pemerintah ikut andil dalam melakukan diversifikasi pangan guna meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Deputi Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Bapanas, Andriko Noto Susanto mengakui bahwa masyarakat Indonesia sudah berlebih dalam mengonsumsi padi-padian atau beras, dan sangat rendah dalam mengonsumsi umbi-umbian maupun sumber karbohidrat lainnya. Pemerintah terus mematangkan regulasi yang mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan sebagai acuan di daerah masing-masing melalui advokasi, kampanye, dan sosialisasi terkait enam komoditas lokal sumber karbohidrat non-beras yang potensial menggantikan nasi, diantaranya singkong, talas, sagu, jagung, pisang, dan kentang.
Selain itu, agar diversifikasi pangan bisa berjalan dengan baik, Pemerintah perlu melakukan riset terlebih dahulu terhadap satu hingga tiga komoditas pangan yang brpotensi tinggi bisa menggantikan beras. Dengan menggunakan teknologi dan dilakukan oleh para ahli gizi, maka pontensi komoditas pangan berbasis lokal bisa dioptimalkan untuk menggantikan beras. Dengan kata lain, negara harus hadir dan mendorong produk lokal ini dengan kebijakan atau regulasi.
Di sisi lain, Pemerintah Kab. Karanganyar bersama dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Kab. Karanganyar menggelar program unggulan “Kenyang Tanpa Nasi 2024” dengan tujuan agar mengendalikan inflasi yang dipicu tingkat konsumsi dan harga beras yang cenderung mengalami peningkatan. Program ini dilandasi kenyataan bahwa masih banyak faktor yang memengaruhi angka inflasi antara lain harga bahan pokok termasuk beras yang tidak stabil.
Program serupa juga telah diluncurkan di Kab. Klaten dengan tujuan utama mengampanyekan diversifikasi pangan pokok selain beras. Pemerintah harus jeli dalam memetakan lahan-lahan produktif yang memadai sehingga program tersebut bisa berkelanjutan. Produksi pangan non-beras ini harus mampu mencukupi kebutuhan warga agar benar-benar bisa menjadi alternatif bagi masyarakat.
Penganekaragaman pangan lokal non-beras tidak cukup hanya dengan memproduksi alternatif makanan pokok saja, melainkan juga harus memikirkan cara membiasakan masyarakat mengonsumsi sehingga bahan makanan pokok tidak bergantung pada beras. Selain itu, Pemerintah harus memastikan bahan makanan pokok alternatif selain beras ini mudah didapatkan dan harganya relatif murah, serta harus mempertimbangkan nilai gizi maupun bentuk olahannya.
Langkah konkrit untuk mengurangi tekanan ekonomi akibat kenaikan harga beras tidak selalu harus makan nasi, melainkan melakukan diversifikasi pangan. Strategi diversifikasi pangan memiliki potensi untuk menciptakan kestabilan pada pasokan pangan dan mengurangi risiko inflasi.
Dengan begitu, upaya Pemerintah dalam menguatkan ketahanan pangan nasional patut didukung karena merupakan bentuk komitmen kepada masyarakat agar tidak bergantung pada pangan beras serta mewujudkan swasembada beras dengan memastikan supply atau stok beras tetap aman dan distribusinya tidak terhambat.
Penulis merupakan Pengamat Ekonomi di Pershada Institut.