Oleh : Alfred Jigibalom
Editor : Ida Bastian
Pekan Olahraga Nasional ke-XX yang akan diselenggarakan di Papua beberapa bulan lagi, akan tetap dilaksanakan. Walau saat ini masih pandemi, tetapi jadwalnya tidak bisa ditunda lagi. Pasalnya, pelaksanaan PON sudah diundur selama setahun. Jika diundur lagi tentu akan mengacaukan semuanya. Tentu saat dilaksanakan harus sesuai dengan protokol kesehatan.
PON adalah ajang level nasional yang bergengsi, karena para atlet dari seluruh penjuru Indonesia berlaga untuk menunjukkan performa terbaiknya. Tahun 2021, PON XX diselenggarakan di provinsi Papua dan Papua Barat. Masyarakat di Bumi Cendrawasih sangat bangga karena untuk pertama kalinya, ajang sebesar PON diselenggarakan di sana.
Akan tetapi sampai pertengahan tahun 2021 pandemi belum selesai juga, sehingga pelaksanaan PON XX menjadi perdebatan. Akankah ditunda atau dilaksanakan tanpa penonton? Karena bagaimanapun kita harus menaati protokol kesehatan dan dilarang untuk membuat kerumunan.
Kenius Kogoya, Sekretaris Umum KONI Papua menyatakan bahwa PON XX Papua berbeda karena dilaksanakan di tengah pandemi covid. Ia juga tak tahu apakah penyelenggara mengizinkan adanya penonton atau tidak. Karena jika tidak ada penonton, maka sedikit banyak akan mempengaruhi para atlet, mereka jadi kurang bersemangat dalam berlaga karena tidak ada suporter.
Usulan untuk menyelenggarakan PON XX Papua tanpa penonton diungkapkan oleh Marciano Norman, Ketua Umum KONI pusat. Menurutnya, kita harus menyiapkan skenario terburuk alias PON tanpa penonton. Lagi-lagi karena alasan pandemi.
Keputusan untuk menyelenggarakan PON XX tanpa penonton masih belum fix 100%, tetapi ini lebih baik daripada penundaan kembali. Karena sebenarnya acara olahraga ini seharusnya diselenggarakan di akhir tahun 2020, tetapi ditunda jadi tahun 2021 karena alasan pandemi. Jika ditunda lagi maka jadawal akan kacau-balau karena banyak yang di-cancel.
Selain itu, ketika PON XX ditunda, maka akan berpengaruh pada psikologis atlet. Mereka sudah berlatih keras demi acara ini, dan saat harus ditunda lagi harus kecewa berat. Apalagi persiapan fisik dan mental mereka juga butuh biaya yang tak sedikit. Sehingga jika PON XX digeser jadwalnya jadi tahun 2022, akan membutuhkan lebih banyak uang.
Alasan lain adalah persiapan venue seperti GOR, arena racing, kolam renang, dll sudah hampir siap 100%. Sehingga saat ditunda tentu gedung dan tempat pertandingan olahraga tersebut akan sia-sia. Selain itu, biaya perawatannya juga cukup mahal. Jadi jadwal penyelenggaraan PON XX memang harus ditepati, yakni tahun 2021.
Masyarakat Papua juga menanti apakah penyelenggaraan PON XX jadi pada tahun ini atau tahun depan. Mereka sebenarnya banyak yang ingin agar PON dilaksanakan sesuai dengan jadwal, karena sudah excited menunggu selama lebih dari setahun. Penyelenggaraan PON amat membanggakan karena baru kali ini warga Papua dipercaya jadi panitia.
Jalan tengahnya adalah PON XX bisa diselenggarakan tahun 2021, karena belum tentu tahun depan pandemi sudah usai. Selain itu acara ini juga bisa dilaksanakan dengan penonton, tetapi harus sesuai dengan protokol kesehatan. Para atlet dan official wajib melakukan tes swab. Tiap orang yang masuk venue harus mencuci tangan, memakai masker, dan tidak boleh berkontak fisik walau hanya bersalaman.
Para penonton juga harus menjaga jarak, caranya adalah dengan memberi tanda silang pada kursi-kursi di dalam stadion atau venue lain. Jadi para suporter tidak akan berdampingan dan berdesak-desakan dan tetap menjaga jarak.
Namun resiko dari menjaga protokol menjaga jarak adalah daya tampung venue yang hanya bisa maksimal 50%. Akan tetapi hal ini lebih baik, daripada menyelenggarakan PON tanpa penonton sama sekali atau bahkan ditunda tahun depan. Masyarakat yang tak bisa menonton langsung bisa melihatnya via gawai karena ada siaran langsung.
Pelaksaanaan PON XX Papua tak bisa di-cancel lagi karena harus sesuai dengan jadwal yang dibuat oleh KONI pusat. Seluruh panitia di Papua juga bersemangat untuk menyelenggarakannya. Tentu dengan menaati protokol kesehatan dan tidak membuat kerumunan.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Bali