Oleh : Ade istianah
Editor : Ida Bastian
Paham radikal adalah penyakit berbahaya yang harus diberantas. Oleh karena itu semua pihak harus bersinergi untuk menolak penyebarannya. Mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, aparat, sampai warga sipil. Semuanya harus bekerja sama agar radikalisme cepat diatasi.
Terorisme dan radikalisme termasuk paham yang mungkin baru dikenal masyarakat karena memang organisasinya baru bisa masuk ke Indonesia tahun 1998-1999, pasca tumbangnya orde baru. Orde reformasi yang relatif lebih bebas dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk membangun basis di Indonesia dan membuat berbagai masalah yang memusingkan masyarakat.
Bahaya dari radikalisme dan terorisme adalah perpecahan, karena masyarakat diprovokokasi untuk membangun negara khilafah. Ada sebagian kalangan yang sayangnya terbujuk, mungkin karena keterbatasan pengetahuan atau teracuni oleh janji manis dari kelompok radikal. Namun yang menentangnya tentu jauh lebih banyak karena mereka yakin bahwa radikalisme dan terotisme tidak cocok bagi masyarakat Indonesia yang majemuk.
Jelang akhir tahun adalah saat yang krusial karena melihat dari tahun-tahun yang lalu, ada ancaman pengeboman yang dilakukan oleh kelompok radikal, yang akan diledakkan di rumah-rumah ibadah. Komandan Korem 043/Gatam Brigjen Drajad Brima Yoga berpesan pada masyarakat untuk segera menginformasikan jika ada kegiatan yang sekiranya mencurigakan, dan bisa jadi dilakukan oleh kelompok radikal.
Brigjen Drajad melanjutkan, informasi dari masyarakat sipil amat berharga karena informasi milik mereka terbatas. Selain itu, TNI berkomitmen mencegah terorisme, terutama menjelang akhir tahun 2021. Sinergitas diperlukan untuk memberantas terorisme dan radikalisme, terutama dari awak media. Dalam artian, jurnalis harus berbagi informasi ke TNI agar penangkapan teroris cepat terjadi.
Kolaborasi antara masyarakat, media, dan TNI memang wajib dilakukan, agar bisa memberantas terorisme di Indonesia. Jika semuanya sadar bahwa radikalisme itu berbahaya maka akan saling berbagi informasi. Prajurit TNI akan bergerak dan diiringi oleh Densus 88 antiteror, karena mereka saling membantu agar mencegah terjadinya tindak teorisme dan radikalisme di Indonesia.
Saat ada penangkapan teroris yang diinisiasi oleh prajurit TNI, bukannya Densus 88 antiteror, maka hal ini tidak menyalahi aturan. Penyebabnya karena salah satu tugas TNI adalah mengamankan masyarakat dan mencegah terorisme adalah salah satu caranya. Justru TNI di sini sedang bergerak cepat untuk mencegah, agar masyarakat tidak menjadi korban terorisme dan radikalisme.
Mengapa harus ada kolaborasi? Penyebabnya jika hanya pemerintah atau aparat yang bergerak, akan sangat susah. Masyarakat sebaiknya tidak cuek dan tetap perhatian ke sekelilingnya. Jika ada yang mencurigakan maka bisa melapor dan diterima dengan senang hati. Jangan takut duluan jika bertemu dengan anggota TNI karena mereka adalah sahabat rakyat.
Pencegahan paham radikal juga bisa dilakukan masyarakat di media sosial. Mereka bisa melihat akun-akun medsos mana yang sekiranya dikendalikan oleh kelompok radikal dan teroris, karena ciri-cirinya sangat khas. Misalnya di akun tersebut terlalu sering menghujat pemerintah dan berkoar-koar tentang jihad dan negara khilafah.
Jika ada akun media sosial yang mencurigakan maka melaporkannya bisa langsung ke polisi siber yang memang ditugaskan di dunia maya. Polisi siber akan menindak dan membekukan akun tersebut, sehingga tidak bisa lagi menebar racun radikalisme ke masyarakat. Jangan takut untuk melapor karena 1 laporan bisa menyelamatkan banyak orang.
Sinergi untuk menolak penyebaran paham radikal wajib dilakukan agar kelompok radikal bisa dengan cepat diberantas. Kerja sama yang baik antara pemerintah, TNI, Polri, media, dan masyarakat sipil wajib dilakukan, agar radikalisme bisa hilang dari Indonesia. Masyarakat diminta untuk teliti dan melapor jika ada indikasi radikalisme, baik di dunia nyata maupun maya.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bandung