Oleh : Zainudin Zidan
Editor : Ida Bastian
Generasi muda memiliki peran penting dalam menangkal radikalisme. Peran penting tersebut diantaranya dengan terlibat dalam penyebaran narasi kedamaian dan kebhinnekaan Indonesia di berbagai platform media sosial.
Paham radikal memang menyasar anak muda, kelompok radikal seakan mengetahui celah anak muda yang merasa resah dengan keadaan lalu hadir menawarkan solusi dengan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Sehingga penting bagi generasi muda untuk memiliki “tameng” terhadap radikalisme.
Radikalisme sendiri merupakan doktrin atau praktik yang diterapkan oleh penganut paham radikal atau paham ekstrem. Radikalisme juga bisa diartikan sebagai gerakan yang berusaha mengubah total tatanan sosial yang ada di masyarakat.
Dalam menangkal radikalisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menerapkan strategi kontra radikalisasi dan deradikalisai. Sasaran dari strategi kontra radikalisasi adalah masyarakat umum, pelajar dan tokoh masyarakat dengan tujuan menambahkan nilai ke-Indonesiaan dan nilai kedamaian. Sementara sasaran strategi deradikalisasi yaitu kelompok radikal dan simpatisan, bertujuan untuk menghentikan kekerasan dan aksi teror.
Sementara itu, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo mengungkapkan pemerintah harus merangkul anak-anak muda secara maksimal dalam upaya melawan paham dan aksi radikal. Apabila seluruh generasi muda dapat memahami dan memaknai semangat dan nilai-nilai keberagaman dan persatuan, ia meyakini, kelompok radikal tidak akan bisa bergerak bebas.
Melalui keterangan resminya Benny berujar, dalam melawan intoleransi dan radikalisme, kaum muda adalah pemutus rantai. Tanpa didukung pemuda, mereka tidak akan bisa berjalan. Di era yang serba digital seperti sekarang, generasi muda tentu memegang peranan penting. Mereka merupakan kaum yang sangat mengerti teknologi. Jika hal tersebut dimanfaatkan oleh kelompok radikal tentu saja akan sangat berbahaya. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki program yang dapat memaksimalkan peran anak-anal muda di dalam kehidupan bermasyarakat.
Benny menjelaskan, jangan sampai ada pemuda yang merasa sendirian hingga akhirnya terpengaruh, terpapar oleh paham radikal. Semua itu berawal dari kesepian, kesendirian, kekecewaan.
Paham radikal bisa disebarkan dengan cara memengaruhi pemikiran orang lain. Terlebih lagi jika orang tersebut berpikiran sempit dan mudah percaya kepada pihak yang dianggap membawa perubahan ke dalam hidupnya. Padahal pihak tersebut menyebarkan suatu paham yang bertentangan dengan ideologi negaranya.
Faktor psikologis juga berdampak pada rentannya anak muda terpapar paham radikal. Sikap untuk menjadi radikalis terkadang tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang yang memiliki berbagai permasalahan, rasa benci, serta dendam. Sehingga berpotensi menjadi radikalis dan mudah dipengaruhi orang lain. Kita juga harus waspada, karena radikalisme dapat muncul di berbagai tempat, termasuk sarana pendidikan. Ideologi radikalisme bisa dengan mudah disisipkan dalam pengajaran.
Sebelumnya, Presiden RI Ir. Joko Widodo (Jokowi) telah memperingatkan tentang ancaman dan bahaya radikalisme di institusi pendidikan. Kepala Negara mengingatkan pimpinan kampus untuk dapat aktif dalam melakukan pengawasan terhadap segala aktivitas mahasiswa agar mereka tidak terpapar oleh paham radikal.
Kita semua tentu harus sadar bahwa dalam beragama tidak bertujuan untuk membenci sesama manusia yang berbeda pemahaman, justru dalam belajar beragama haruslah mampu menguatkan perdamaian sesama makhluk Tuhan. Belajar Agama bukan berarti membuat seseorang menganggap Pancasila itu thagut, atau membuatnya anti menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Penguatan nilai-nilai kebangsaan haruslah ditanamkan baik di lingkungan sekolah maupun universitas. Jangan sampai lembaga pendidikan yang melahirkan insan intelektual lantas dicekoki dengan paham radikal yang dapat merongrong kebhinekaan.
Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Putranto mengatakan, generasi muda cenderung kurang waspada terhadap isi informasi yang menyebar di media sosial. Ancaman masuknya paham radikalisme yang banyak dipengaruhi pola seperti ISIS, hal ini tentu saja menjadi trigering bersama untuk mencegah penyebaran radikalisme sejak dini.
Media sosial seperti Telegram, Facebook Hingga Twitter, dimanfaatkan oleh kelompok radikalis ataupun teroris untuk menyebarkan ideologinya. Biasanya mereka mengawalinya dengan membuat narasi keresahan terhadap pemerintah.
Anak muda yang sedang memasuki fase pencarian jati diri kemungkinan akan dengan mudah tenggelam dalam narasi yang berujung pada doktrin radikal yang meruntuhkan nilai kebangsaan. Seperti menganggap Pancasila itu thagut, mengajak untuk membenci demokrasi dan yang paling parah merekrut generasi muda untuk ikut berperang dengan alasan jihad atas nama agama.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute