Oleh: Levi Raema Wenda
Editor : Ida Bastian
Kelompok Separatis Teroris (KST) Papua Kembali menjadi dalang dari tindak kekerasan yang menimpa Orang Asli Papua (OAP). Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh KST Papua menelan korban jiwa pada Kamis, 9 Juni 2022 di Lapar Kampung Kibogolome, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak.
KST Papua, Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah kelompok yang lahir pada tahun 1960-an dengan misi untuk memisahkan diri dari Indonesia. Kelompok ini kerap melakukan provokasi kepada Masyarakat Papua serta melakukan penyerangan dan tindak kekerasan ke warga sipil ataupun ke pos-pos aparat militer atau kepolisian dalam rangka mencapai tujuannya agar Bumi Cenderawasih lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Pada penyerangan di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak teridentifikasi seorang tukang ojek bernama Aldi sebagai korban jiwa. Sebelumnya, dua warga sipil di Puncak juga menjadi korban dari ulah kelompok KST Papua. Kedua warga sipil tersebut teridentifikasi Bernama Nober Palinti, dan Samsul Sattu.
KST Papua melakukan beragam kekerasan pada korban-korban tersebut. Aldi yang merupakan korban tewas mengenaskan karena mengalami luka sangat parah akibat sabetan senjata tajam di sebagian tubuhnya, selain itu kedua tangannya hancur akibat dianiaya. Nober Palinti tewas dengan luka tembak di kepala dan jenazahnya dibuang ke sungai. Sementara Samsul Sattu tewas ditembak di depan rumahnya.
Menurut hasil riset terbaru dari Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM), ditemukan fakta bahwa sejak 2010 pelaku kekerasan terhadap OAP di Papua didominasi oleh KST yang merupakan kelompok separatisme yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. GTP UGM ini adalah unit kerja di bawah naungan UGM yang bertugas melakukan penelitian dan kegiatan akademik lainnya tentang Papua.
Riset berjudul “Tindak Kekerasan di Tanah Papua (Januari 2010 – Maret 2022)” ini juga menyoroti pentingnya peran pemerintah untuk melakukan introspeksi terhadap pendekatan keamanan yang dilakukan selama ini dalam menyelesaikan masalah di Papua. Temuan dari riset ini adalah kekerasan di Papua terjadi akibat konflik vertikal antara KST dan TNI/Polri. Kemudian terdapat berbagai konflik horizontal melibatkan OAP, non-OAP, hingga antar suku, ras, dan marga. Hasil riset menunjukkan bahwa secara konsisten KST menjadi aktor utama dalam setiap kekerasan yang terjadi di Papua. Jumlah kasus kekerasan bahkan meningkat pesat dalam 6 tahun terakhir (2016-2021).
Salah satu faktor yang menjadi penghambat dalam mengatasi KST Papua adalah sulitnya untuk mengidentifikasi keberadaan mereka. Anggota KST sering berbaur dengan masyarakat setempat karena kesamaan tampilan fisik. Kondisi ini membuat mereka sering tidak terjamah oleh penegak hukum, sehingga sulit dijatuhi hukuman.
Selain menyebakan korban jiwa, KST juga menciptakan gangguan keamanan bagi Masyarakat Papua. Ancaman ketakutan dan keselamatan dirasakan segenap masyarakat mulai dari pemuka agama, tetua adat, aparat pemerintah, guru, dokter, perawat, pengusaha, hingga masyarakat umum.
Dengan banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh KST Papua, menurut hemat penulis diperlukan berbagai cara untuk mengatasinya. Pentingnya penegakan hukum kepada anggota KST adalah hal harus dilakukan. Kemudian peningkatan kesejahteraan yang didukung pembangunan infrastruktur di Papua harus terus menjadi prioritas pemerintah
Semoga segera lahir penyelesaian damai antara Pemerintah dengan anggota KST Papua. Penyelesaian damai yang akan menjadi langkah untuk menciptakan kondisi Papua yang kondusif bagi Masyarakat Papua, dan sebagai tonggak untuk menyongsong Papua Maju.
*) Penulis adalah Pengamat Papua, mantan jurnalis media lokal di Papua.