Oleh: Bagus Dirgantara
Editor : Ida Bastian
Portalindonews.com – Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan Rancangan Undang-Undang (RUU) operan atau carry over dari DPR RI pada periode 2014-2019. RKUHP itu sendiri merupakan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia.
Namun, pada penghujung pengesahannya pada tahun 2019, banyak pihak yang kemudian mempertanyakan dan memperdebatkan beberapa isi pasal dalam RKUHP sehingga payung hukum nasional tersebut diurungkan kembali untuk disahkan sebagai Undang-Undang (UU).
Perancangan KUHP ini disebabkan karena hukum pidana yang berlaku sudah tidak relevan di era yang serba digital ini. Para perancang asli naskah KUHP ini pun bahkan sudah banyak yang meninggal dan meninggalkan legacy yakni hasil pemikiran, kajian, dan penelitian terhadap perkembangan hukum pidana nasional.
Pemerintah saat ini telah berkomitmen untuk melakukan sosialisasi ke berbagai daerah dan melibatkan sebanyak mungkin pihak terkait sehingga masyarakat dapat memiliki pengetahuan dan pemahaman yang bermakna sebagaimana perkembangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Untuk dapat melahirkan RKUHP yang berkualitas, progresif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pembuatan RKUHP ini telah melibatkan banyak ahli hukum pidana, aparat penegak hukum dan peradilan, pihak masyarakat, maupun seluruh perwakilan yang ahli di bidang lainnya.
Wayan Sudirta menjelaskan bahwasanya RKUHP mengutamakan kepentingan nasional, yaitu kepentingan untuk mereformasi hukum pidana nasional yang komprehensif dan berdaya tahan untuk jangka panjang. Oleh karena itu, pengesahan RKUHP menjadi sesuatu yang sangat urgen.
Urgensi pengesahan RKUHP ini merupakan upaya pemerintah untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah Kolonial Belanda dan sebagai salah satu usaha pemerintah untuk mendukung pembangunan hukum nasional. RKUHP ini memang dirancang untuk memperbarui hukum pidana materiil yang mengandung misi rekodifikasi hukum pidana yang kini telah berkembang di seluruh peraturan perundang-undangan.
Artinya, mengatur ketentuan pidana secara umum sebagai ketentuan umum atau lex generali yaitu sebagai pedoman utama pengaturan pidana di Indonesia. RKUHP ini tentunya juga mengatur asas atau prinsip umum hukum nasional. Selain itu, RKUHP juga menjadi jalan untuk pemberlakuan prinsip-prinsip hukum umum dan internasional yang modern. Misalnya, perluasan subjek hukum pidana (korporasi) dan penambahan jenis sistem pemidanaan.
Masyarakat pun diminta untuk tidak perlu khawatir karena RKUHP sangat menghormati kekhasan dan kekayaan hukum adat Indonesia dengan mengakui keberadaan hukum pidana adat, namun tetap dengan batasan-batasan tertentu karena tujuan pemidanaan dalam RKUHP ini berubah dari otoriterisme menjadi modern dan seimbang. Hal ini dilakukan sebagai upaya bersama untuk mengurangi kriminalisasi berlebih terhadap perbuatan-perbuatan tertentu sekaligus melindungi seseorang secara hukum yang pasti.
Wayan Sudirta menambahkan RKUHP mengenal “restorative justice” dan bertujuan untuk mengembalikan masyarakat secara seimbang bukan hanya semata untuk pembalasan dendam. Oleh karena itu, ia mengimbau kepada semua pihak untuk memandang secara luas bahwa pembaruan KUHP ini sangat penting setelah melewati lebih dari 100 (seratus) tahun KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
Wayan Sudirta mengatakan ada beberapa tambahan untuk mendalami pasal-pasal dalam RKUHP, diantaranya pasal tentang hukum yang hidup dalam masyarakat (asal legalitas). Pasal itu dimaksudkan untuk mengakui hukum pidana adat yang selama ini telah berlaku di masyarakat dan diatur dalam peraturan daerah. Maksud lain dari pasal ini adalah pemberlakuan keadilan restoratif dari sisi hukum adat setempat untuk pemulihan korban dan lingkungan.
Selanjutnya, pasal mengenai penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden serta pasal mengenai penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga. Pasal itu sebenarnya merupakan variasi dari pasal penghinaan yang memang telah diputuskan MK sebagai delik aduan.
Kemudian, pasal terkait penodaan agama yang dimaksudkan untuk menghormati agama yang diakui di Indonesia dan menjadi falsafah bangsa dalam sila pertama dalam Pancasila. Pasal ini merupakan cara untuk perlindungan agama dan menghindari konflik sebagaimana banyaknya agama yang diakui maupun yang tidak diakui di Indonesia.
RKUHP menstimulus suksesi pembangunan hukum nasional di mana perubahan-perubahan yang terdapat di beberapa pasal merupakan ketentuan dan aspirasi dari banyak pihak.
ketentuan dalam RKUHP tidak dapat memuaskan seluruh pihak karena Indonesia merupakan negara multi-etnis dan multi-budaya yang pasti akan banyak pertentangan. Meskipun pihak pemerintah sudah berupaya dengan sangat baik dalam menerima kritikan dan masukan dari seluruh pihak, maka untuk mengakomodir seluruh perkebangan hukum, RKUHP tetap menghormati instrumen hukum untuk menguji pasal di level implementasi.
Draf RKUHP bila nantinya sudah disahkan, bukanlah satu-satunya ketentuan yang final dan tidak dapat atau sulit diubah. Dari ketentuan peralihan RKUHP terdapat masa pemberlakuan Undang-Undang (2 tahun) yang masih juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menguji baik di level implementasi maupun uji materiil di MK.
Penulis merupakan pemerhati Hukum Pidana pada Nusa Bangsa Institute