Oleh : Panji Saputra
Editor : Ida Bastian
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Indonesia merupakan upaya Indonesia dalam melakukan pembaruan hukum pidana di mana KUHP yang dipakai saat ini dinilai sudah usang dan tidak relevan.
Edward Omar Sharif Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) mengatakan bahwa RKHUP menerapkan paradigma hukum pidana yang baru, yaitu keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.
Paradigma hukum pidana baru tidak lagi menggunakan hukum pidana sebagai sarana hukum balas dendam. Dia menyebutkan tiga jenis keadilan yang ditegakkan dalam paradigma hukum pidana baru, yakni keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif. Dirinya menjelaskan, terkait dengan keadilan korektif, pelaku kejahatan tetap dikoreksi. Pelaku kejahatan tetap dikenakan sanksi, tetapi dia tidak hanya dikenakan sanksi, tetapi juga diperbaiki.
Perbaikan yang diterapkan kepada pelaku adalah penerapan keadilan rehabilitatif. Pelaku akan menerima rehabilitasi guna mengoreksi tindakannya agar tidak terulang lagi. Sementara itu, Edward menjelaskan bahwa keadilan restoratif bertujuan untuk pemulihan korban dari tindak kejahatan.
RKUHP tidak hanya berfokus pada mengoreksi tindakan pelaku kejahatan, tetapi juga memberikan fokus pada pemenuhan hak-hak korban. Selain itu, korban tindak kejahatan juga memperoleh rehabilitasi untuk mendukung proses pemulihannya.
Oleh karena itu, keadilan korektif adalah milik pelaku, keadilan restoratif adalah milik korban dan keadilan rehabilitatif adalah milik pelaku maupun korban.
Selain penerapan paradigma hukum pidana baru, dirinya menambahkan terdapat nuansa dekolonisasi dalam RKUHP. Di Dalam KUHP yang berlaku saat ini, pidana penjara merupakan hukuman yang paling utama atau primer; sedangkan di RKUHP, pidana penjara tetap merupakan pidana pokok tetapi bukan hukuman paling utama.
Pasal 57 RKUHP mengatakan dalam hal tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan jika hal tersebut dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
Edward berujar, pidana yang lebih ringan ada pidana pengawasan dan juga pidana kerja sosial. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memiliki urgensi apabila membawa paradigma baru, modern dan kekinian tentang hukum pidana.
Pada saat zaman kolonial Belanda, pribumi ditekan supaya tidak boleh memberontak dan kritis terhadap pemerintah. Hal tersebut bisa dilihat dari upaya pengasingan Ir. Soekarno ke Boven Digoel dan Banda Neira. Meski KUHP saat ini sudah berusia 105 tahun, tidak semua paradigma di dalamnya bisa diterapkan di Indonesia dalam konteks kekinian.
Sebelumnya, anggota komisi III DPR RI Didik Mukrianto meminta kepada pemerintah khususnya Kemenkumham untuk lebih masif dalam menyosialisasikan terkait 14 pasal krusial dalam RKUHP yang masih menjadi perdebatan publik.
Benny Riyanto selaku Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) mengungkapkan RUU KUHP perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana. Menurut Benny, Indonesia membutuhkan hukum pidana baru yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.
Dirinya menjelaskan ada pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini, yakni paradigma keadilan retributif menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.
Benny mengemukakan rencana pengesahan RUU KUHP menjadi Undang-undang sebenarnya sudah disetujui pada rapat paripurna tahun 2019. Kendati demikian, Presiden RI Joko Widodo pada 23 September 2019 meminta kepada DPR untuk menunda pengesahan RUU KUHP bersama 3 RUU lainnya lantara rancangan tersebut masih menuai penolakan dari masyarakat.
Protes terhadap RUU KUHP tersebut rupanya disebabkan oleh minimnya pelibatan partisipasi publik dan beberapa pasal yang kontroversial. Untuk itu, pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui diskusi dan seminar. Benny menjelaskan, RUU KUHP sudah memenuhi asas meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Di mana partisipasi ini mencakup tiga unsur, yaitu hak untuk didengar, hak untuk mendapat penjelasan dan hak untuk dipertimbangkan.
Beberapa rumusan norma dalam RUU KUHP juga mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Misalnya, rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi. Selain itu, RUU KUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, seperti menyatakan diri memiliki kekuatan ghaib yang dapat mencelakakan orang lain.
Selain itu, RKUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya dan bangsa. Dalam RUU KUHP pasal 477 misalnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai budaya dan bangsa di mana persetubuhan dengan anak di bawah usia 18 tahun, meski didasari suka sama suka, bisa dikategorikan sebagai perbuatan perkosaan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Benny mengungkapkan substansi RUU KUHP sudah sangat ideal sebagai norma hukum pidana nasional.
RKUHP perlu segera disahkan karena akan menerapkan paradigma hukum pidana baru, bahkan RKUHP juga telah mengantisipasi pengaruh globalisasi yang universal di bidang ekonomi dengan dampak dan efeknya pada peran kompetensi hukum pidana.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara