Oleh : Muhammad Yasin
Editor : Ida Bastian
Radikalisme dan intoleransi merupakan salah satu ancaman bagi keutuhan bangsa yang dapat masuk ke lingkungan pendidikan. Semua pihak diminta untuk waspada agar generasi muda tidak teracuni paham tersebut.
Beberapa waktu lalu di Solo ada berita menghebohkan, ketika anak-anak merusak makam yang jenazahnya memiliki keyakinan lain. Mereka ditengarai murid sebuah sekolah informal yang radikal. Setelah itu diadakan pengusutan mengapa para pengajarnya sampai tega mendoktrin anak-anak yang masih polos, dan meracuni mereka dengan intoleransi dan radikalisme?.
Kejadian yang viral ini membuka mata masyarakat bahwa radikalisme dan intoleransi sudah masuk ke lingkungan pendidikan. Para orang tua mulai khawatir apakah anak-anaknya masuk ke sekolah yang moderat atau justru sebaliknya. Mereka perlu mewaspadai dan menyelidiki apakah institusi pendidikan tersebut terpapar paham terlarang.
Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan bahwa bahaya radikalisme sudah menyusup ke lingkungan pendidikan. Ia prihatin karena doktrin khilafah mempengaruhi keyakinan anak-anak terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nahar melanjutkan, Kementerian PPPA mengecam berbagai bentuk penyebaran doktrin khilafah di sekolah-sekolah. Di sana tidak diajarkan ideologi Pancasila, tidak memajang foto Presiden Jokowi dan Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin, bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka melarang para murid untuk hormat bendera merah putih. Ajaran seperti itu membuat para murid jadi radikal dan intoleran.
Masyarakat yang khawatir anak-anaknya diajari apa di sekolah, mulai mengadakan penyelidikan. Mereka meninjau sendiri apakah benar kalau di kelas tidak ada foto presiden dan wakilnya, dan tidak ada upacara dan hormat bendera merah putih tiap senin. Hal ini wajar dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah institusi pendidikan tersebut radikal atau tidak.
Buku-buku dan modul anak-anak juga dipantau oleh orang tuanya. Bacalah dengan teliti dan lihat jadwal pelajarannya. Biasanya institusi pendidikan yang radikal tidak mengajarkan nasionalisme, Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Anak-anak juga ditanya apakah gurunya pernah menceritakan tentang sistem negara khilafah, jihad, dan terorisme.
Penyelidikan juga bisa dilihat dari media sosial sekolah dan guru-gurunya. Jika ketahuan meng-upload tentang jihad maka patut diwaspadai. Untuk lebih amannya maka anak-anak bisa dipindahkan ke sekolah lain yang mengajarkan nasionalisme. Lebih baik memilih institusi pendidikan yang lurus daripada anak-anak jadi korban dan mau jadi teroris.
Jika memang ada sekolah yang mencurigakan dan memiliki ciri-ciri radikal, maka jangan ragu untuk melaporkannya ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Mereka akan melakukan penyelidikan lebih lanjut dan menutup institusi pendidikan tersebut, jika benar mengajarkan radikalisme. Langkah ini harus dilakukan agar tidak ada lagi murid dan wali murid yang jadi korban.
Anak-anak yang sudah terlanjur belajar di sekolah yang radikal perlu dideradikalisasi jalan pemikirannya. Mereka perlu diajarkan bahwa agama membawa cinta kasih, dan kekerasan serta pengeboman yang diajarkan oleh kelompok radikal adalah sebuah kesalahan, karena nabi tidak pernah mengajarkan ekstremisme. Ajak mereka untuk menyanyikan lagu-lagu nasional dan membangkitkan kembali nasionalismenya.
Masyarakat perlu mewaspadai penyebaran paham radikal dan intoleran di lingkungan pendidikan. Para orang tua wajib melihat apakah sekolah anak-anaknya lurus atau malah radikal. Dengan adanya partisipasi dari semua pihak, penyebaran paham radikal di institusi pendidikan diharapkan dapat dicegah.
)* Penulis adalah kontributor pertiwi Institute