Oleh : Muhamad Zaki
Editor : Ida Bastian
Moderasi Beragama diyakini akan mampu menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama. Dengan adanya toleransi dan moderasi beragama tersebut maka kemajemukan bangsa akan tetap mampu dipertahankan.
Akhir-akhir ini muncul isu yang digulirkan oleh kelompok radikal, di mana suatu perbedaan dibesar-besarkan. Saat ada perayaan hari besar umat lain maka akan ada rasa waswas. Penjagaan pun makin diperketat. Radikalisme merusak tatanan sosial di Indonesia dengan menghapus rasa toleransi.
Padahal sejak dulu kita tidak pernah mempermasalahkan perbedaan, karena sejak era kemerdekaan Indonesia memang terdiri dari banyak etnis, tetapi tetap berbhinneka tunggal ika. Perbedaan yang dipermasalahkan menjadi besar karena terus digoreng, dan hal ini meresahkan karena bisa memecah persatuan.
Untuk menyatukan lagi perbedaan gara-gara ulah kelompok radikal, maka kita harus melakukan toleransi di mana-mana. Toleransi adalah kunci dari persatuan, karena ketika paham bahwa ada banyak perbedaan, maka tidak akan mempermasalahkannya. Sejak SD kita sudah diajari cara bertoleransi, dan ketika sudah lulus sekolah maka wajib untuk mengimplementasikannya.
Toleransi beragama adalah hal yang wajib karena di Indonesia ada 6 keyakinan yang diakui oleh pemerintah. Kita tidak hidup di negara yang khilaiyah, tetapi pluralis. Jika ada beberapa keyakinan maka tiap umat harus memahami bahwa perbedaan ini tidak untuk dipertentangkan, tetapi harus saling menghormati. Toleransi tidak hanya diplokamirkan di era orde baru, tetapi juga sampai ke era reformasi dan setelahnya.
Jika bertoleransi maka tiap bulan desember tidak ada yang panas hati lalu melakukan sweeping, dan memaksa para kasir untuk melepas topi sinterklas. Tiap orang memahami bahwa pernak-pernik warna merah dan hijau tersebut adalah wajar karena mendekati hari raya mereka. Jangan malah marah-marah karena ada yang sedang berbahagia.
Sebaliknya, ketika lebaran maka umat dengan keyakinan lain juga menghormatinya dengan mengucapkan selamat, walau tidak ikut merayakan. Bahkan ada yang rela berjaga di depan masjid padahal tidak berlebaran. Inilah wujud dari toleransi yang indah, yang mempersatukan Indonesia.
Untuk bertoleransi maka perlu ada moderasi beragama, karena hanya dengan moderaisi beragama umat bisa menjalankan ibadah dan ritual agama dengan seimbang, tanpa harus ekstrim ke kiri atau ke kanan. Moderasi beragama bukanlah sekadar memiliki agama, melainkan menyadari bahwa menjalin hubungan baik dengan sesama insan itu juga berpahala, tidak hanya taat kepada Tuhan.
Jika semua WNI memahami moderasi beragama maka tidak akan terlalu fanatik alias ekstrim kanan. Segala sesuatu memang tidak boleh berlebihan, termasuk fanatisme beragama. Penyebabnya jika terlalu fanatik maka akan mudah tersinggung dengan perbedaan, padahal di Indonesia ada 6 keyakinan yang diakui negara, sehingga wajar jika ada banyak perbedaan di masyarakat.
Ketika suatu perbedaan terlalu dipertentangkan maka akan sangat berbahaya karena bisa merusak persatuan bangsa. Kita tentu tidak ingin negeri ini hancur seperti di Suriah atau Afghanistan. Janganlah mempermasalahkan perbedaan selama tidak menyinggung soal SARA. Perbedaan itu sebenarnya indah dan perlu dipahami lagi bahwa Indonesia terdiri dari keberagaman, yang disatukan dalam bhinneka tunggal ika.
Moderasi beragama memang perlu diviralkan lagi untuk lebih bertoleransi sekaligus menghalau radikalisme. Pihak yang mempraktikkan moderasi beragama bukan hanya para tokoh agama dan guru, tetapi juga kalangan masyarakat lain. Semua mempraktikannya karena moderasi beragama mewujudkan sikap toleransi di Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute