Euthyfro; Kesalehan Setengah Hati

Oleh: Garry Vebrian

Editor: Ida Bastian

Sokrates :Apakah engkau (Euthyfro) ingat bahwa aku tidak memintamu mengajarkan aku tentang satu ada dua hal dari antara banyak hal yang tergolong saleh, melainkan tentang bentuk itu sendiri yang membuat segala hal yang saleh, saleh adanya? Karena kau sendiri mengatakan, aku kira, bahwa ada satu watak atau hakikat yang membuat segala sesuatu yang tidak saleh adanya dan segala sesuatu yang saleh saleh adanya, apakah engkau tidak ingat?

Portalindonews.com – Pernah suatu ketika Plato mengatakan bahwa Sokrates adalah seorang sosok figur yang “tidak tahu apa-apa”, bahkan menurut Sokrates kita semua “tidak tahu apa-apa”. Tidak mengherankan jika Sokrates akan segera menyela, mengintrupsi, mengajak dialog jika ia menemui seseorang yang mengaku “tahu” akan sesuatu sampai pada titik dimana Sokrates akan menunjukan orang yang pretensius seperti itu tidak tahu apa-apa melalui dialektika dialog yang dibuatnya. Bagi Sokrates pengetahuan adalah sebuah “jalan” yang tak pernah definitif, setidaknya itu yang ia ingin tunjukan kepada Euthyfro tentang klaimnya tentang kesalehan.

Sokrates seakan tidak puas terhadap definisi kesalehan yang Euthyfro rumuskan, alasannya sederhana, ia tidak menemukan semacam model kesalehan yang tepat untuk diaplikasikan terhadap semua kegiatan manusia. Kutipan dialog diatas sangat jelas bahwa Sokrates “meminta” Euthyfro sebuah model kesalehan yang bisa diterapkan dalam segala hal bentuk kegiatan yang dilakukan manusia. Saya melihat Sokrates sebetulnya tidak sungguh-sungguh menginginkan sebuah model kesalehan yang tepat dari seorang Euthyfro, melainkan ia hanya ingin mengatakan bahwa segala pengetahuan, dalam hal ini kesalehan, adalah satu “jalan” yang tak pernah definitif.

Tentu kita masih ingat dengan salah satu novel karya seorang Profesor Semantik asal Italia, Umberto Eco, yang mengambil lanskap penghujung abad pertengahan, “The Name of The Rose”, dalam novel tersebut sangat jelas bahwa Eco ingin menunjukan “kadang” kejahatan bisa datang dari kesalehan. Itu sebabnya definisi selalu membatasi akan kebenaran yang seharusnya hidup dan terus “disegarkan” dalam kebudayaan masyarakat jika itu diasosiasikan dengan suatu konsep dan realitas. Termasuk jika itu dikaitkan dengan konsep atau model kesalehan yang menjadi tema pokok dalam dialog Sokrates yang ditulis oleh Plato yang berjudul Euthyfro.

Euthyfro memulai konsep kesalehan melalui sudut pandang hukum. Euthyfro ingin mengatakan bahwa seseorang yang melanggar hukum harus dilaporkan kemudian dilakukan penuntutan hukum melalui proses persidangan resmi. Orang yang melaporkan tindak kejahatan tersebut dikategorikan sebagai sikap kesalehan sedang kegagalan menunutut adalah salah satu sikap ketidaksalehan, sedangkan bagi yang melanggar hukum jelas sebagai satu sikap ketidaksalehan, itu sebabnya ia dilaporkan lalu dituntut hukum.

Melalui sudut pandang teoritis teologi memang ketaatan akan hukum adalah salah satu sikap yang saleh. Misalnya, bahwa orang yang melaksanakan kewajiban agama , katakanlah puasa, adalah suatu sikap yang saleh yang dikhendaki oleh Allah untuk umat Islam. Jika di bulan puasa kita melihat seseorang tidak puasa lalu kita menegurnya bahkan sampai ingin menghakimi bahwa apa yang dilakukan orang tersebut adalah suatu sikap ketidaksalehan, maka pertanyaannya adalah apakah tindakan tersebut (menegur lalu menghakimi) sudah tepat atas nama kesalehan? Jika ternyata bahwa orang yang tidak berpuasa tersebut bekerja sebagai kuli bangunan yang membutuhkan tenaga yang super ekstra keras, agar hasil yang ia kerjakan mendapatkan uang untuk segera menebus obat bagi anaknya yang sedang sakit keras supaya penyakitnya tidak menimbulkan keadaan yang tidak diinginkan oleh si ayah. Apakah kita masih menyatakan bahwa orang yang tidak berpuasa tersebut sebagai kategori sikap yang tidak saleh, sedangkan bekerja keras demi menebus obat bagi anaknya adalah satu sikap yang baik juga, bukankah kesalehan itu juga merupakan kebaikan?

Paradoks diatas memang membutuhkan pemikiran yang mendalam untuk kita menjadi seorang manusia yang hakiki dalam menyikapi suatu fenomena kebudayaan, khususnya tentang kesalehan. Hukum tidak selalu menjadi parameter dalam menyikapi fenomena kebudayaan. Budayawan Emha Ainun Nadjib atau biasa dipanggil Cak Nun, sering menyatakan di dalam forum-forum dialog kebudayaan yang diasuhnya bahwa kebaikan dalam al-Qur’an ada lima kata yang masing-masing memiliki makna kebaikan. Salah satunya adalah kata saleh, menurutnya makna saleh di dalam al-Qur’an adalah kebaikan yang sudah teruji sehingga mungkin mengalami amandemen-amandemen baik secara jujur atau tidak. Seperti Euthyfro yang menghakimi ayahnya akibat lalai dalam membiarkan si pembunuh diikat dan diceburkan dalam got sehingga sampai menyebabkan kematian akibat kedinginan. Lalu apakah kita sudah total dalam sikap kesalehan di setiap kegiatan yang kita lakukan ataupun dalam memandang seseorang? Atau jangan-jangan kita selalu menghadirkan kesalehan setengah hati tanpa rasa cinta dan kasih sayang?

Penulis adalah Pengajar di Universitas Yatsi Madani, Wakil Ketua ICMI Orda Kota Tangerang, Pengurus ICMI Orwil Banten

About PORTALINDONEWS

Check Also

Njagong Bareng Dan Nonton Film Pilkada Damai,Bersama Komisi Pemilihan Umum(KPU) Kabupaten Tegal

Portalindonews.com- Slawi- Menjelang pilkada damai Komisi Pemilihan Umum(KPU) kabupaten tegal menggelar acara Njagong Bareng nonton …