PORTALINDONEWS.COM, – Gembala Yoman kembali memaknai risalah persidangan Resolusi 2504 secara selektif dan tebang pilih. Seluruh argumen pokok beliau telah saya jawab, namun beliau tetap mengutip dan sepertinya mengkultuskan pernyataan Wakil Tetap Ghana.
Akibat pendekatan selektif ini, Gembala Yoman sepertinya lupa membaca habis risalah persidangan. Contoh, Belanda saja menolak resolusi yang Ghana ajukan dan akhirnya abstain. Secara halus Menlu Belanda Luns meminta agar Wakil Tetap Ghana, Duta Besar (Dubes) Akwei mengurungkan niatnya untuk mengganggu pembahasan resolusi 2504.
Hal tersebut dapat dimengerti karena terkesan mengada-ngada dan menghambat persidangan serta tidak memahami rancangan resolusi yang Belanda, Indonesia, Luksemburg, Malaysia, dan Thailand ajukan.
Menlu Belanda, Luns, bahkan menyatakan bahwa Ortis-Sanz pun, yang menurut Gembala Yoman mengusulkan one-man-one vote, telah menerima mekanisme Pepera yang akhirnya dilaksanakan di Papua.
Menteri Luns menyatakan sbb:
“Now, as I explained in my previous statement, it is a fact-and various delegations have referred to that fact- that a very distinguished Bolivian diplomat, who gave his assistance under the Agreement to the act of free choice, has expressed some criticism, and some of it somewhat severe, about the conditions under which that act of free choice took place. But he added that, considering the whole picture of the circumstances of the country and everything else, he himself came to the conclusion that the act of free choice was carried out, if I may say so, in an acceptable manner”
Di tulisan saya sebelumnya, saya telah menjelaskan bagaimana Ortis-Sanz juga mengakui berbagai sarannya diakomodasi oleh Pemerintah Indonesia.
Gembala Yoman juga mengutip telegram rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Gembala Yoman perlu membaca buku karangan Duta Besar Marshall Green yang menjadi Dubes Amerika di Indonesia antara Juni 1965 hingga Maret 1969.
Dalam bukunya yang berjudul Indonesia: Crisis and Transformation 1965 – 1968, Dubes Marshall Green sangat mengikuti dan bertanggung jawab atas kebijakan Amerika di Indonesia. Sehingga tanpa harus secara selektif memaknai telegram Kedubes Amerika, sebaiknya Gembala Yoman juga membaca buku Dubes Marshall Green tersebut.
Dalam bukunya, Dubes Green menyatakan bahwa pelaksanaan Pepera dengan mekanisme musyawarah dan konsultasi adalah metode terbaik karena metode lainnya tidak-lah memungkinkan. Hal ini juga yang menurut Dubes Green akhirnya dimaklumi oleh Tim dari PBB.
Perlu Gembala Yoman pahami bahwa pelaksanaan metode Pepera melalui sistem perwakilan yang dilandasi konsultasi dan musyawarah justru adalah praktik yang universal dan diterima PBB pada saat itu. Contoh, self-determination Fiji, Southern Rhodesia, Equatorial Guinea, Mozambique, dan Sabah-Sarawak tidak dilakukan dengan one-man one-vote.
Harus kembali saya tegaskan bahwa Gembala Yoman mengutip paragraph 143, halaman 47 dari laporan Sekjen PBB kepada Majelis Umum PBB (A/7723, 6 November 1969). Gembala Yoman melewatkan paragraph 144 yang justru menerangkan keraguan dan kecurigaan dari Ortis-Sanz bahwa petisi yang berisi penolakan diduga ditulis oleh orang yang sama.
Paragraph 147 dari Laporan Sekjen PBB justru menyatakan bahwa menjelang pelaksanaan Pepera petisi dari masyarakat Papua yang ingin tetap menjadi bagian Indonesia justru semakin banyak diterima oleh Kantor PBB.
Kiranya Gembala Yoman menyudahi cara-cara selektif, tebang pilih. Sangat disayangkan karena cara tersebut tidak memberi terang garam bagi masyarakat, melainkan kegelapan.
*Steve Rick Elson Mara, S.H., M.Han*
*Ketua Melanesian Youth Diplomacy Forum* (Sumber Penrem 172/PWY)