Portalindonews.com | Aceh Timur – Senin, 14 Juli 2025 _ Langit Pante Bidari pagi itu tampak cerah. Di halaman sekolah dasar yang sederhana, anak-anak duduk rapi dengan seragam yang tak lagi baru. Sebagian wajah mereka tampak canggung, sebagian lagi tersenyum malu-malu. Tapi ada satu yang menyatukan mereka: harapan
Di hadapan mereka berdiri sosok sederhana namun penuh wibawa. Camat Pante Bidari, Darkasyi, SE, datang tidak membawa seremonial besar atau protokoler ketat. Ia hanya membawa beberapa kotak berisi buku tulis dan buku menggambar—yang semuanya dibeli dari uang pribadinya.
Namun, di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka lama yang mendalam. Saat memberikan buku kepada seorang anak laki-laki yang tampak pendiam, Camat Darkasyi terdiam sejenak. Matanya menatap kosong ke kejauhan, sebelum akhirnya ia mulai bercerita.
“Saya dulu seperti mereka… Mungkin bahkan lebih sulit. ucapnya lirih.
Ia lalu membuka kisah masa kecilnya yang selama ini tak banyak diketahui publik. Darkasyi adalah anak dari seorang pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang pada awal tahun 1990-an menjadi korban konflik bersenjata di masa Daerah Operasi Militer (DOM). Ayahnya meninggal karena karena ditembak saat Aceh konflik.
“Saya masih duduk di bangku sekolah dasar waktu itu. Hari itu masih jelas dalam ingatan saya. Rumah kami digerebek. Ayah saya tak pernah pulang lagi. Saya jadi yatim sejak kecil. Ekonomi keluarga runtuh. Dunia saya berubah total, kenangnya dengan suara parau.
Sebagai anak pejuang GAM, hidup tak hanya keras, tetapi juga penuh tekanan. Stigma, ketakutan, dan kemiskinan menjadi teman sehari-hari. Sekolah menjadi tempat pelarian dari rasa duka, tapi bahkan untuk membeli buku tulis pun keluarganya seringkali tak mampu.
“Saya ingat pernah menulis di balik kertas bekas karena tak punya buku. Kadang pinjam teman, kadang minta sisa kertas dari guru. Saya tahu betul rasa malu itu, tuturnya sambil mengusap pelipis.
Kini, puluhan tahun kemudian, Darkasyi berdiri sebagai seorang pemimpin tingkat kecamatan. Namun luka masa kecil itu tidak hilang—ia menjelma menjadi semangat, menjadi dorongan untuk menolong mereka yang bernasib serupa.
“Hari ini saya hadir untuk anak-anak kurang mampu. Karena luka itu pernah saya alami. Saya tak ingin mereka merasakan hal yang sama. Kalau saya mampu bantu, akan saya bantu, ujarnya dengan suara gemetar, disambut tepuk tangan haru dari para guru dan warga yang hadir.
Bantuan berupa buku tulis dan buku gambar diserahkan langsung kepada para siswa-siswi dari keluarga tidak mampu di beberapa SD dalam wilayah Kecamatan Pante Bidari. Meski nilai materinya tidak seberapa, namun makna dan ketulusannya begitu dalam.
Para guru menyampaikan apresiasi tinggi atas kepedulian Camat mereka. Salah satu kepala sekolah bahkan menyebut ini sebagai “hadiah awal tahun ajaran yang paling menyentuh.”
“Anak-anak senang sekali. Ada yang sampai mencium bukunya. Mungkin ini pertama kalinya mereka menerima buku baru langsung dari seorang pemimpin, ucap seorang guru sambil menahan air mata.
Langkah Camat Darkasyi menjadi pengingat, bahwa kekuasaan tak harus ditunjukkan dengan kemegahan, tapi bisa diwujudkan lewat kemanusiaan. Ia adalah bukti hidup bahwa dari luka masa lalu, bisa tumbuh jiwa yang peduli dan menyembuhkan luka orang lain.
Sebelum meninggalkan sekolah, Camat Pante Bidari, Darkasyi, SE, menyempatkan diri berdiri di tengah barisan siswa-siswi yang tampak antusias dan penuh rasa ingin tahu. Dengan suara tenang namun penuh makna, ia menyampaikan pesan yang begitu menggetarkan hati.
“Dulu saya hanyalah anak kecil dari pelosok desa, anak dari seorang pejuang yang gugur di masa konflik. Saya hidup dalam bayang-bayang trauma dan kemiskinan. Tapi hari ini, saya berdiri di sini sebagai seorang Camat, ucapnya sambil menatap para siswa satu per satu.
“Kalau saya bisa melewati semua itu, kalian juga pasti bisa. Jangan pernah menyerah. Sekalipun hidup ini berat, tetaplah sekolah. Tetaplah bermimpi. Karena dari sekolah inilah jalan hidup kalian dimulai, lanjutnya penuh semangat.
“Gunakan buku ini bukan hanya untuk menulis tugas, tapi untuk menuliskan harapan, untuk menggambar masa depan kalian. Jadilah dokter, guru, tentara, bahkan pemimpin negeri ini. Jangan batasi mimpi kalian hanya karena hari ini kalian belum punya apa-apa.
Suasana mendadak hening. Beberapa guru tampak menunduk menahan haru. Sementara di barisan siswa, ada yang mulai menyeka air mata.
“Kalian adalah anak-anak hebat. Saya percaya, di antara kalian, kelak akan lahir orang-orang besar yang akan membanggakan Aceh dan membela tanah kelahirannya dengan cara yang mulia, kata Camat Darkasyi menutup pesannya.
Pesan itu, meski singkat, terasa menggetarkan. Ia bukan hanya datang sebagai pejabat membagikan bantuan, tetapi sebagai bukti nyata bahwa masa lalu yang kelam tidak menghalangi masa depan yang gemilang.
Camat Darkasyi telah menanamkan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar buku: ia menanamkan harapan, keyakinan, dan semangat juang dalam diri anak-anak Pante Bidari.
Reporter: ZAS,BRS