Oleh: Wilson Lalengke
PORTALINDONEWS.COM | Jakarta – Ini sebuah ironi yang menyedihkan. Indonesia kini dihadapkan pada kenyataan pahit ketika mantan residivis kasus narkotika menduduki posisi penting sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi periode 2024-2029. Bahkan yang bersangkutan terpilih menjabat sebagai Ketua DPRD. Pertanyaan mendasar pun muncul: masihkah lembaga parlemen memiliki kehormatan dan harga diri?
Keberadaan mantan narapidana di kursi legislatif bukanlah fenomena baru. Namun, dengan terpilihnya individu yang pernah terjerat kasus narkotika secara berulang, kita harus mempertanyakan integritas dan moralitas lembaga yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan rakyat. DPRD, sebagai representasi suara masyarakat, seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki rekam jejak bersih dan mampu memberikan teladan yang baik.
Penting untuk dicatat bahwa jabatan publik, terutama di lembaga legislatif, memerlukan kepercayaan masyarakat. Ketika individu dengan latar belakang kriminal mendapatkan posisi strategis, hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga merusak citra lembaga itu sendiri.
Kenyataan ini tidak hanya terbatas pada kasus DPRD. Jabatan-jabatan strategis lainnya, seperti gubernur, bupati, dan walikota, juga sering kali diisi oleh para mantan koruptor, pelaku kejahatan berat, bahkan mereka yang terlibat dalam praktik illegal seperti penambangan dan penebangan kayu. Hal ini merupakan gambaran suram mengenai kualitas dan integritas pemimpin yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.
Apakah kita bisa percaya kepada para pemimpin semacam ini untuk membawa perubahan positif? Mereka yang pernah melanggar hukum dan mengkhianati kepercayaan publik sering kali hanya memikirkan kepentingan pribadi, bukan kesejahteraan masyarakat yang mereka pimpin.
Dampak dari keberadaan para mantan narapidana pelaku kejahatan di posisi strategis sangat merugikan masyarakat. Keputusan-keputusan yang diambil hampir pasti akan mencerminkan kepentingan kelompok tertentu daripada kebutuhan rakyat. Akibatnya, proyek-proyek yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup masyarakat sering kali terabaikan atau malah dijadikan ajang korupsi.
Masuknya orang-orang yang nihil ahlak semacam itu menjadikan berbagai jabatan yang didudukinya kehilangan nilai moral dan kemuliaan. Mungkin kita harus sepakat atas pernyataan Rocky Gerung bahwa “jabatan-jabatan itu tidak punya perasaan dan harga diri”, sehingga iblis pun boleh duduk di singgasana itu dan dibayar hidupnya oleh rakyat. Ini suatu realitas pahit yang terpaksa harus ditelan oleh bangsa dungu ini.
Namun, tentu saja kita tidak boleh hanya berkeluh-kesah dan mengumpat. Dengan kondisi yang ada, penting untuk melakukan reformasi dalam sistem pemilihan umum dan kriteria calon legislatif.
Masyarakat harus lebih cerdas dan proaktif dalam memilih pemimpin yang memiliki integritas dan rekam jejak yang baik. Selain itu, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap calon-calon yang mendaftar untuk posisi publik, termasuk pemeriksaan latar belakang yang lebih menyeluruh. Partai politik berperan penting dalam melakukan perbaikan.
Situasi ini menuntut kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang kita junjung tinggi sebagai bangsa. Jika lembaga-lembaga publik diisi oleh mereka yang tidak memiliki integritas, maka masa depan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat akan terancam.
Keterpilihan mantan residivis dan pelaku kejahatan di posisi strategis adalah sebuah panggilan untuk bangkit dan berjuang demi perubahan yang lebih baik. Kita harus lebih awas dan ktitis, memastikan lembaga-lembaga publik benar-benar berfungsi untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi para pelanggarnya. (*)
Penulis adalah alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012