Oleh : Raditya Rahman
Penyelesaian pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan pengesahannya memang perlu didukung oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Hal tersebut demi bisa terwujudnya kedaulatan sistem hukum Indonesia karena tidak lagi mengekor pada hukum buatan kolonial Belanda dan memiliki orisinalitas sendiri.
Indonesia sudah merdeka dari jajahan kolonial selama 77 tahun. Namun ternyata peninggalan dari koloni Belanda masih saja terus diterapkan sebagai sumber sistem hukum yang berlaku di Tanah Air, padahal KUHP lama tersebut sudah bisa dikatakan sangatlah usang serta tidak relevan lagi jika ditarik pada bagaimana dinamika sosial yang ada sekarang.
Maka dari itu Pemerintah sebenarnya sudah berupaya guna mewujudkan kemerdekaan Indonesia secara mengakar, yakni salah satunya adalah dengan memiliki kedaulatan sistem hukum sendiri, yang mana merupakan asli buatan anak Bangsa dan di dalamnya jauh lebih sesuai terhadap bagaimana dinamika yang terjadi belakangan.
Sebagai informasi, Hukum pidana diperkenalkan oleh penjajah Belanda jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan Belanda mendapatkannya setelah dijajah oleh Perancis. KUHP yang dibawa ke Indonesia oleh Belanda pada mulanya adalah KUHP Perancis tahun 1810. Saat itulah Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan hukum pidana. Kemudian penjajahan Perancis mulai berlaku di Belanda, dan Negara Kincir Angin tersebut memberlakukan KUHP pada tahun 1881.
Hukum pidana juga diperkenalkan dan ditegakkan di Indonesia (saat itu Hindia Belanda) ketika kapal-kapal kolonial Belanda melintasi Nusantara dari Amsterdam. Secara efektif, KUHP telah diberlakukan di tingkat nasional sejak tahun 1918. KUHP yang semula bernama Wet Wetboek van Strafrecht, menggantikan semua hukum yang ada di Nusantara, mulai dari hukum adat hingga hukum pidana agama. Nilai-nilai lokal tergerus oleh hukum kolonial.
Salah satunya adalah bahwa doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali merupakan bagian dari perjuangan rakyat Prancis untuk melindungi hak asasinya dari perlakuan sewenang-wenang oleh penguasa.
Berangkat dari fakta sejarah tersebut, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul mengatakan perombakan hukum pidana sangat diperlukan. Hal tersebut dikarenakan keberlakuan dari KUHP lama sudah berlaku sejak tahun 1917. Maka menurutnya RKUHP harus segera diselesaikan.
Terkait hal tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa Rancangan KUHP berisi lebih dari 700 pasal. Untuk itu, masyarakat harus bisa memahami isu-isu yang masih dibahas di RKUHP. Di sisi lain, Presiden RI, Joko Widodo juga terus mengupayakan supaya bisa mempertimbangkan saran dari masyarakat luaSecara tegas Mahfud mengatakan kalau memang tindakan tersebut merupakan esensi demokrasi dalam konteks penegakan hukum. Pembahasan, sosialisasi hingga diskusi lebih terbuka akan terus digelar oleh Pemerintah mengenai RKUHP.
Pada kesempatan lain, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Harkristuti Harkrisnowo,juga meminta agar Rancangan KUHP (RKUHP) segera disahkan. Karena KUHP saat ini merupakan produk peninggalan kolonial Belanda. Menurutnya, saat ini adalah saat yang tepat supaya Indonesia mampu memiliki sistem hukum yang benar-benar dibuat oleh Bangsa sendiri.
Seluruh yang terkandung dalam RKUHP menurut Harkristuti berisi pembaruan lebih lanjut tentang hukum pidana Indonesia. Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana tampaknya tidak mengikuti pola tertentu, karena di mana ada undang-undang, di situ juga ada sanksi pidana. Bukan hanya itu, namun RKUHP dirancang sedemikian rupa agar tidak ada perbedaan penafsiran, perbedaan pemikiran, sistem yang berbeda, sehingga nantinya hanya ada satu hukum pidana.
Harkristuti juga menyatakan bahwa dalam RKUHP akan ada banyak sekali pembaruan-pembaruan yang berkaitan dengan apa itu tujuan pemidanaan, apa yang menjadi landasan untuk penjatuhan pidana, bagaimana pidana dijatuhkan, termasuk faktor apa saja yang diperlukan oleh hakim dalam membuat pertimbangan hingga pada bagaimana hal-hal yang disarankan, jika ada sanksi, akan diperhitungkan oleh hakim, dan tidak ada hukuman penjara yang harus dijatuhkan.
Apalagi hanya ahli hukum yang dapat membedakan antara RKUHP dengan hukum pidana yang berlaku. Orang awam hanya tahu bahwa RKUHP mengubah pasal tentang penghinaan presiden, perzinahan, dan lain-lain. Bagaimanapun, rancangan tersebut adalah yang terbaik meski, apalagi dialog dan komunikasi akan terus terbuka bagi masyarakat.
Salah satu pasal yang sering menjadi banyak bahan perbincangan dan sempat dianggap mengganggu kebebasan pers adalah Pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Arsul Sani, Pasal itu tetap diperlukan, tetapi polisi tidak memiliki wewenang untuk bertindak atau menangkap siapa pun. Arsul mengatakan bahwa menghina Presiden membutuhkan batasan atau standar tertentu. Oleh karena itu, liputan media tentang masalah ini tidak termasuk dalam kategori melakukan penghinaan semacam itu.
Untuk bisa mencapai kemerdekaan secara lebih sempurna, maka memang Indonesia sangatlah perlu memiliki sistem hukum sendiri yang merupakan asli buatan anak Bangsa. Sehingga sudah tidak ada alasan lagi untuk menolak diselesaikannya RKUHP demi kebaikan Tanah Air. Karena jika terus-menerus masih mengikuti sistem hukum yang dibuat oleh kolonial Belanda bahkan lebih dari 2 abad lalu, maka sama saja makna kemerdekaan bagi Indonesia belum seutuhnya dicapai.
)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute