PORTALINDONEWS.COM, Jakarta – Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar Webinar bertajuk “Hubungan kepala daerah dan DPRD dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan”, Sabtu (25/6/2022). Webinar ini menghadirkan dua narasumber, Prof. Lili romli, peneliti pusat riset politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ketua Bidang Pengembangan Keilmuan dan Kerja Sama Perguruan Tinggi MIPI Dr. Muhadam labolo.
Dalam sambutan pembukaannya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharuddin Thahir mengatakan, dalam tema kali ini salah satu ciri dari daerah otonom adalah DPRD. Jika begitu, artinya, derajat otonomi masih dipengaruhi DPRD.
“Berhasil tidaknya kepala daerah indikatornya itu adalah bagaimana hubungan dengan DPRD. Pertanyaannya, apakah Kepala Daerah bisa menundukan DPRD ataukah bisa bekerja sama dengan DPRD, apakah didominasi kepentingan DPRD,” cetusnya.
Sementara Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Prof. Lili Romli mengungkapkan, ada 4 model relasi Kepala Daerah-DPRD. Pertama, dimana hasil pemilihan langsung masyarakat menentukan dan mengelola dinas-dinas/Lembaga birokrasi daerah.
“Yang kedua, dimana manager hasil pemilihan dewan bersama kepala daerah menentukan dan mengelola dinas birokrasi daerah; selanjutnya yang ketiga, dimana dinas atau birokrasi daerah diisi melalui pemilihan langsung dari warga, sedang kepala daerah oleh DPRD. Terakhir, kepala daerah dipilih langsung oleh publik, menentukan dan mengelola dinas/birokrasi daerah,” paparnya.
Prof. Lili Romli menilai, dari keempat model tersebut, Indonesia lebih memilih strong major yaitu kepala daerah dipilih langsung oleh publik,” jelasnya.
Lebih lanjut Lili menganggap, beberapa hal yang membuat berkurangnya kekuasaan DPRD dikaerenakan pemilihan kepala daerah secara langsung, LPJ diganti LKPJ dan DPRD tidak berhak menolak.
“Selain itu, kepala daerah tidak mudah dihentikan oleh penggunaan hak angket dan interplasi,” terangnya.
Sementara itu, Ketua bidang pengembangan keilmuan dan kerja sama perguruan tinggi MIPI, Muhadam Labolo mengatakan, dalam konteks Indonesia, apa yang membuat DPRD low confidence, karena DPRD merasa sebagai unsur penyelengara teknis Pemda sesuai dengan UU 23, menunjukan posisi DPRD itu sebagai penyelengara, seakan akan posisinya sebagai OPD yaitu organisasi pemerintah daerah.
“Sementara DPRD menganggap konsekuensi itu maka keuangan dan protokol dia terbatas. DPRD tidak dianggap sebagai pejabat negara, berbeda dengan kepala daerah, sesuai UU disebut Pejabat Negara, sementara DPRD hanya disebut pejabat Pemerintahan Daerah,” tukasnya.
Di sisi lain, kata Muhadam, DPRD merasa fungsi pengawasan dimandulkan, seperti yang dikatakan Prof. Lili, bahwa UU 23 tahun 2014 sekarang DPRD tidak bisa kuat seperti UU sebelumnya.
“Dalam pandangannya, ada beberapa perbedaan dan persamaan kepala daerah dan DPRD yaitu sama sama penyelenggaraan daerah, tetapi kepala daerah berkedudukan sebagai pejabat negara dan DPRD berkedudukan sebagai Pejabat pemerintah Daerah sehingga ada konsekuensi dalam konteks penggunaan anggaran” jelasnya.
Selanjutnya, lanjut Muhadam, kepala daerah mempertanggungjawabkan kepada DPRD dalam masa akhir tahun anggaran tertentu dan akhir masa jabatan.***