Oleh : Muhammad Yasin
Editor : Ida Bastian
Radikalisme merupakan virus berbahaya yang dapat mempengaruhi masyarakat, tidak terkecuali kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Penyebaran radikalisme di kalangan ASN harus dihentikan agar tidak makin meluas.
Aparatur sipil negara (ASN) aadalah pekerjaan impian mayoritas sarjana, karena saat jadi pegawai negeri akan mendapatkan gaji cukup besar plus tunjangan, dan nanti ketika purna tugas akan diberi uang pensiun. Tak heran pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tiap tahun begitu membludak peminatnya. ASN dianggap memiliki posisi yang stabil dan sangat dihormati di masyarakat.
Akan tetapi terungkap fakta bahwa 27 ASN sudah terkena radikalisme. Y. Tony Surya Putra, Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bidang penanganan radikalisme menyatakan bahwa ASN yang terlibat radikalisme karena terbukti anti Pancasila, anti persatuan, dan intoleransi. Dalam artian, ternyata radikalisme sudah meracuni pemikiran para pegawai negeri.
Tony melanjutkan, seharusnya seorang pegawai negeri wajib memilih pergaulan, baik di kantor maupun di masyarakat. Ia juga tidak boleh terpancing akan hasutan di media sosial yang bisa menjebaknya dalam pemikiran radikal. Dalam artian, ASN harus memilih lingkungan yang baik dan anti radikal serta tak boleh terjebak hoaks dan propaganda yang sengaja disebar oleh kelompok radikal di media sosial.
Saat ASN sudah terkena radikalisme maka ia bisa terkena hukuman keras. Mulai dari teguran oleh kepala dinas, batalnya kenaikan jabatan, penurunan jabatan atau pangkat, hingga yang paling fatal adalah pemecatan secara tidak hormat. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa ada 10 ASN yang dipecat tiap bulan karena terlibat radikalisme.
Dalam artian, ketika sampai dipecat dengan tidak hormat maka kasusnya sudah sangat parah. Akan sangat rugi jika ia diberhentikan begitu saja karena tak akan mendapat uang pensiun. Namanya juga jadi rusak di mata masyarakat karena dianggap sebagai penghianat bangsa dan mantan pegawai negeri yang gagal. Jabatan ASN tidak selamanya dan mereka harus paham bahwa jadi kader radikal adalah kesalahan fatal yang berujung pemecatan.
Untuk mencegah penyebaran radikalisme maka pertama dengan pencegahan dari tahap awal. Saat pendaftaran CPNS, selain menunjukkan surat vaksin, peserta juga harus menunjukkan bukti bahwa ia anti radikalisme. Selain itu akun sosial medianya juga dipantau. Saat terbukti ia mengumbar jihad, khilafah, dll maka dipastikan tak akan diloloskan jadi ASN.
Kedua, para pegawai yang telah resmi jadi ASN, baik lama maupun baru, akun media sosialnya juga dipantau. Pengawasan harus dilakukan karena sebagai abdi negara mereka merepresentasikan negara. Jangan sampai ada ASN tetapi tingkahnya tak karuan di media sosial. Jika ada yang menemukan ASN seperti itu maka laporkan saja pada polisi siber.
Sedangkan yang ketiga, saat ini sudah ada aplikasi ASN no radikal. Dengan aplikasi ini maka bisa diketahui apakah ada pegawai negeri yang radikal atau tidak, dan ketika yang mengawasi adalah mesin maka ia tidak bisa dibohongi begitu saja.
Terakhir, akan lebih baik lagi diadakan seminar dan himbauan pada ASN tentang bahaya radikalisme. Mereka perlu diingatkan kembali apa saja kerugian saat terlibat kelompok radikal, karena hukuman terbesarnya adalah pemecatan.
ASN yang terbukti radikal bisa mendapat teguran keras, penundaan kenaikan pangkat, sampai yang paling fatal adalah pemecatan secara tidak hormat. Pencegahan harus dilakukan agar semua ASN tidak teracuni oleh radikalisme, mulai dari penyaringan CPNS yang anti radikal sampai pengawasan di media sosial.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute