Oleh : Ridwan Alamsyah
Editor : Ida Bastian
Toleransi merupakan salah satu strategi untuk dapat menjaga NKRI agar tetap damai. Seluruh WNI wajib menjadi pribadi yang toleran karena Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari banyak suku dan agama.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tak heran masjid ada di mana-mana. Selain itu juga ada musala serta langgar. Jika sudah waktunya salat tentu ada alunan azan dari speaker masjid dan para muslim datang berduyun-duyun untuk salat berjamaah.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran (SE) mengenai pengaturan speaker masjid. Ada beberapa penyesuaian mengenai waktu dan penggunaan speaker tersebut. Pertama, speaker diatur dengan maksimal 100 desibel dan suaranya harus jernih. Selain itu, speaker luar hanya boleh digunakan untuk menyuarakan azan, iqamah, takbiran (sebelum idul fitri dan idul adha), dll.
Sedangkan untuk acara salawatan, pengajian, tahlilan, dan acara-acara lain di masjid memakai speaker dalam. Semua masjid harus menaati aturan ini karena untuk ketertiban dan toleransi.
Menteri Koordinator Bidang Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan bahwa aturan speaker masjid ini demi kenyamanan dan toleransi beragama. Tentu sebelum mengeluarkan surat edaran, menteri agama sudah mempertimbangkan banyak hal.
Dalam artian, Muhadjir mendukung penuh surat edaran menteri agama tersebut. Penyebabnya karena sebuah speaker masjid memang wajib diatur agar lebih bagus lagi kualitas suaranya. Selain itu, waktu penggunaan speaker dalam dan luar juga harus diatur, karena tidak semua kegiatan di masjid menggunakan speaker luar.
Toleransi memang menjadi alasan utama dalam waktu penggunaan speaker luar masjid, karena selama ini masih ada saja pelanggaran. Misalnya ketika sebelum subuh, speaker sudah berbunyi keras-keras. Padahal waktu salat masih lama, dan suaranya malah membuat kaget orang di sekitarnya.
Kita wajib memahami bahwa masyarakat di suatu kampung atau perumahan tidak 100% muslim. Jika ada yang memiliki keyakinan lain tentu akan shock ketika ada suara keras padahal baru jam 3 pagi. Oleh karena itu ketika sebelum subuh sebaiknya disenyapkan saja, kecuali pada saat Ramadhan, boleh memakai speaker untuk mengingatkan waktu sahur. Akan tetapi harus diingat bahwa maksimal 100 desibel.
Pengaturan maksimal 100 desibel dilakukan selain untuk toleransi, juga untuk menjaga pendengaran. Penyebabnya karena jika seseorang mendengarkan suara yang sangat keras maka dikhawatirkan akan ada masalah di telinganya, di kemudian hari.
Jangan ada yang menganggap pemerintah zalim karena melarang dikumandangkan azan. Pengaturan speaker masjid bukanlah seperti itu, melainkan mengatur agar ketika ada salawatan atau puji-pujian, bisa memakai speaker dalam saja. Sedangkan untuk azan boleh memakai speaker luar.
Ingatlah bahwa orang Indonesia penuh dengan toleransi, tujuannya agar kehidupan berjalan dengan damai. Jangan malah seenaknya menggunakan speaker yang menggelegar, alasannya untuk berdoa agar lebih bisa didengar banyak orang. Ingatlah bahwa doa bisa dilakukan dengan suara lirih, karena Tuhan maha mendengarkan.
Toleransi wajib dilakukan karena bisa jadi di sekitar masjid ada anak kecil yang kaget ketika ada speaker yang berbunyi nyaring, padahal belum waktunya salat wajib. Jika memang sudah masuk waktu salat sunnah, tidak usah memasang speaker kencang-kencang. Takutnya para bayi dan balita akan menangis.
Kedamaian di Indonesia wajib dijaga dengan cara toleransi. Untuk menjaga toleransi antar umat maka diaturlah penggunaan speaker masjid dan musala. Pengaturan ini bukanlah untuk melarang, melainkan sebagai bentuk toleransi, karena umat juga saling menghormati.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute