Oleh : Savira Ayu
Editor : Ida Bastian
Masyarakat mengapresiasi kebijakan pemerintah menahan kenaikan harga pertalite di tengah kenaikan minyak dunia. Keputusan tersebut dianggap sudah tepat karena dapat meringankan perekonomian rakyat dan mencegah inflasi.
Mayoritas masyarakat Indonesia memakai pertalite sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, karena harganya masih terjangkau, yakni 7.650-8.000 rupiah. Mereka memilih pertalite karena selain murah, tersedia di seluruh SPBU (juga penjual eceran), nilai RON-nya juga cukup tinggi.
Ketika harga minyak dunia naik drastis menjadi 130 dollar per barrel (padahal sebelumnya tidak sampai 100 USD) maka masyarakat waswas, apakah harga BBM di Indonesia dinaikkan juga? Mengingat harga BBM di negeri lain juga naik karena harga minyak dunia yang membumbung tinggi.
Namun mereka tidak usah khawatir karena pemerintah memutuskan untuk menahan kenaikan harga pertalite di kisaran 8.000 rupiah per liter. Harga ini masih terjangkau oleh dompet, karena tidak sampai 10.000 rupiah sudah bisa mendapatkan BBM dengan kualitas baik.
Harga pertalite lebih murah daripada harga bahan bakar dengan RON yang sama (90) dengan merek lain, yang harganya mencapai 12.000 rupiah per liter. Berarti pemerintah masih memikirkan rakyat karena tidak serta merta menaikkan harga pertalite walau harga minyak dunia naik banyak.
Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina menyatakan, ‘Pertamina sangat mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam penetapan harga BBM. Oleh karena itu, Pertamina tidak menaikkan harga pertalite untuk menjaga daya beli masyarakat. Apalagi lebih dari 50% WNI menggunakan pertalite untuk mengisi tangki kendaraan bermotornya.”
Kenaikan harga minyak dunia dipicu oleh konflik antara Rusia dan Ukraina. Ketika dua negara tersebut berperang maka terjadi gonjang-ganjing politik dan menyebabkan kerugian, karena tidak hanya harga minyak yang naik, tetapi juga harga emas. Masyarakat berdoa semoga konflik cepat usai dan tidak memicu perang dunia ketiga, karena saat ini masih dipusingkan oleh pandemi, dan jangan ada kekacauan global lagi.
Masyarakat mengapresiasi langkah pemerintah yang tidak menaikkan harga pertalite karena berarti pemerintah memahami kondisi rakyatnya. Kebijakan ini amat pro wong cilik karena saat ini masih banyak orang yang dompetnya makin tipis akibat efek pandemi. Mereka ada yang terpaksa gajinya dipotong demi kelangsungan perusahaan. Ada pula yang dipecat karena pabriknya bangkrut.
Bayangkan jika harga pertalite naik maka akan terjadi efek domino negatif. Saat harga BBM naik maka ongkos kirim juga naik, sehingga harga sembako dan barang-barang lain juga naik. Pemerintah berusaha agar hal buruk ini tidak terjadi karena akan menambah beban masyarakat di saat pandemi.
Harga pertalite memang belum turun tetapi jika tidak naik maka adalah sebuah kabar bagus. Bandingkan dengan harga BBM RON 90 di negara lain. Di Thailand harganya 11.600 per liter, sementara di Singapura malah lebih mahal lagi, yakni 25.000 per liter (jika dirupiahkan). Hal ini mengungkap fakta bahwa pemerintah masih menahan harga BBM dan tidak serta-merta menaikkan seperti di negara tetangga.
Kenaikan harga BBM memang sesuatu yang mengerikan karena pasti memicu demo dan harga sembako serta barang-barang lain juga naik. Oleh karena itu, pemerintah tidak menaikkan harga pertalite walau harga minyak dunia mencapai 130 dollar per barrel. Kebijakan ini amat pro rakyat dan masyarakat senang karena mereka bisa membeli BBM dengan harga terjangkau.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute