PORTALINDONEWS.COM, Jakarta – Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar bertema “Peluang dan Tantangan Pasca Terbentuknya Tiga Provinsi Baru di Papua”, Sabtu (17/8/2022). Webinar ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan dan Wawasan Kebangsaan Setwapres RI Sekretaris Eksekutif BP3 Otsus Velix Vernando Wanggai, dan Ketua MIPI Papua yang juga Asisten Bidang Pembangunan dan Kesra Provinsi Papua Mohammad Musa’ad.
Ketua Umum MIPI Bahtiar dalam sambutannya mengatakan, pemekaran Papua didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 14, 15, 16 Tahun 2022 yang secara dejure telah mengatur pembentukan tiga provinsi baru di Papua. Provinsi itu terdiri dari, Papua Selatan dengan ibukota Merauke, Papua Tengah dengan ibukota Nabire, dan Papua Pegunungan dengan ibukota Jaya Wijaya. Pemerintah memiliki waktu enam bulan untuk melakukan peresmian dan pelantikan penjabat gubernur. Tiga provinsi nantinya juga akan diikutkan dalam Pilkada Serentak tahun 2024.
“Hal ini sangat penting karena, memastikan bahwa pemekaran atau tiga provinsi baru ini benar-benar ditujukan untuk mengangkat harkat martabat masyarakat, Orang Asli Papua, dan seluruh bangsa kita yang hidup dan berdiam di wilayah tanah Papua,” katanya.
Peneliti Pusat BRIN Siti Zuhro menyampaikan, pemekaran Papua sangat dimungkinkan terutama di level provinsi. Meski begitu, pemekaran masih menimbulkan polemik dan kontroversi di Papua. Dia menilai, resistensi itu disebabkan karena adanya kekhawatiran masyarakat Papua yang takut dimarjinalisasi dan teralienasi di tanah sendiri.
“Ini sebagai salah satu tantangan yang memang harus direspon. Jadi kita tidak boleh pura-pura, seolah-olah tidak ada apa-apa. Ini jelas ada letupan-letupan, resistensi itu tadi yang ini harus diberikan opsi solusinya,” tuturnya.
Dia menambahkan, pemerintah pusat memberikan otoritas pada wilayah (termasuk DOB Papua) karena alasan-alasan tertentu, seperti alasan politis, alasan administratif, alasan ekonomi, hingga pertahanan keamanan. Saat pemerintah di tingkat nasional menginstruksikan pemekaran dengan alasan yang spesifik, akan dianggap masyarakat ‘maton’ atau masuk akal. Termasuk memberi jaminan pada rakyat Papua agar mereka tidak tercerabut dari nilai-nilai lokalnya.
“Jaminan eksistensi dan keberlanjutan masyarakat, warga masyarakat lokal itu, dan nilai-nilai lokalnya itu sebagai komunitas sosial di dalam NKRI harus tampak jelas dan dirasakan oleh mereka. Jadi wanti-wanti kita di situ sebetulnya,” jelasnya.
Sementara itu Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan dan Wawasan Kebangsaan Setwapres RI Sekretaris Eksekutif BP3 Otsus Velix Vernando Wanggai menjelaskan, pentingnya desain besar penataan daerah menuju visi 2045 dalam rangka memaknai fenomena atau wacana publik untuk provinsi baru. Pasalnya saat ini pemerintah mulai merumuskan rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Panjang untuk tahun 2025 hingga 2045.
Lanjut dia, kebijakan pemekaran Papua yang menimbulkan pro dan kontra bukan hal yang baru. Kebijakan penataan daerah/pemekaran telah dikaji secara akademik sejak tahun 1981 oleh Gubernur Busiri Suryowinoto. Dalam konteks regulasi, pemerintah mendorong pemekaran dengan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Juga ada pertimbangan lain terkait aspek teknokratik yaitu ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah di Papua.
“Kemudian bagaimana ke depan, ini menjadi tantangan juga yang menjadi PR,” terangnya.
Di sisi lain Ketua MIPI Papua Mohammad Musa’ad memaparkan, pembangunan Papua tidak mudah dalam konteks perataan dan keadilan. Hal ini disebabkan karena wilayah Papua sangat luas, yaitu 319.036,05 km2 atau 16,64 persen dari luas wilayah Indonesia dengan kondisi geografis dan topografis yang sangat sulit. Sehingga dibutuhkan komunikasi, koordinasi, pengawasan, dan pengendalian untuk mengungkit percepatan pembangunan di Papua.
Selain itu juga ada penyebaran jumlah penduduk yang tidak merata, hubungan pelayanan antara pemerintah dengan masyarakat yang sulit, kondisi masyarakat lokal yang majemuk, hingga proses akulturasi budaya antar masyarakat lokal. Untuk itu dibuatlah program prioritas pembangunan Papua 2019-2023 yang menjadi komitmen Pemerintah Papua dalam menjawab tantangan dan isu strategis pembangunan Papua.
“Strategi untuk mempercepat pembangunan Papua, Otsus salah satu instrumennya yang dipakai untuk tercapainya pembangunan di Papua” tandasnya.
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia