Oleh : Tiara Putri
Editor : Ida Bastian
Paham radikal banyak menyebar melalui media sosial, sehingga menyebabkan generasi milenial maupun generasi gen Z berpotensi terpapar paham berbahaya tersebut. Semua pihak diminta untuk bersinergi dan ikut menangkal paham berbahaya tersebut.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol R Akhmad Nurwakhid, menyebutkan ada sebanyak 12,2 persen masyarakat Indonesia yang berpotensi terpapar paham radikal. Dari jumlah tersebut mayoritas merupakan generasi milenial dan generasi Z. Nurwakhid pun menjelaskan indikator yang menyebabkan milenial dan generasi Z disebut berpotensi terpapar radikalisme.
Nurwakhid mengatakan indikator pertama adalah generasi milenial dan gen Z diduga sudah anti-Pancasila, pro khilafah atau pro ideologi transnasional. Kedua, generasi tersebut menurut Nurwakhid sudah memiliki paradigma intoleran terhadap keragamand an perbedaan.
Mereka sikapnya sudah eksklusif terhadap perubahan atau pun dengan lingkungannya, mereka memiliki klaim kebenaran yang paling agamis. Selanjutnya adalah, generasi milenial dan gen Z dinilai sudah antipemerintahan yang sah. Ia menyebut, anti dalam hal ini bukan kritis dan bukan oposisi.
Ia mengatakan kritis adalah suatu kewajiban, jika melihat sesuatu yang nggak baik kita kritis, oposisi di era demokrasi boleh, anti di sini adalah sikap membenci dengan membangu distrust atau ketidakpercayaan masyarakat kepada negara atau pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sebaran hoaks, hate speech, konten-konten adu domba fitnah dan sebagainya.
Dua generasi ini menurutnya diduga antibudaya dan kearifan lokal keagamaan. Contohnya, seperti kasus pria yang menendang dan membuang sesajen di desa terdampak erupsi Gunung Semeru. Hal tersebut rupanya sudah menunjukkan sikap intoleransi termasuk dalam indeks potensi radikalisme.
Dirinya juga menilai, anak-anak generasi milenial dan gen Z yang berpotensi radikal, perlu menjadi kewaspadaan bersama. Generasi muda harus dikembalikan dengan sebutan vaksinasi ideologi agar tidak terpapar terhadap radikalisme dan terorisme. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dia menjelaskan bahwa BNPT telah membangun duta damai di dunia maya yang sudah tersebar di 13 provinsi di Indonesia.
Rencananya pada tahun ini, BNPT akan kembangkan minimal 25 provinsi, terdiri dari anak muda yang milenial, anak-anak generasi Z, tetapi mereka yang militan di dunia maya dan mereka selalu menggelorakan konten-konten persatuan, perdamaian, toleransi cinta tanah air, cinta Pancasila dan harmoni bangsa dan lain sebagainya. Dan mereka juga intens dalam upaya melawan ujaran kebencian, hoaks, hate speech dan lain sebagainya.
Sementara itu Direktur Polhukan Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo Bambang Gunawan mengatakan gempuran informasi negatif tentang radikalisme dapat merusak sendi-sendi kebangsaan. Menurutnya, banjir informasi termasuk konten negatif tentang radikalisme, terorisme dan ekstrimisme dapat mengancam keutuhan NKRI.
Kominfo juga mendorong agar generasi milenial bisa melakukan berbagai kegiatan untuk melawan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Lathifa Al Anshori selaku tenaga ahli utama Kominfo menjelaskan, ada beberapa cara milenial dan gen Z dalam melawan radikalisme.
Lathifa mengatakan, say no to hoax, bekali diri dengan banyak referensi, menjadi anak muda yang kreatif dan inovatif dalam berkarya, aktif menyebarkan pesan damai, open your mind, kuatkan literasi media, hindari kelompok intoleran dengan cara berkumpul dengan orang-orang yang sukses serta mengimplementasikan makna Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Tentu saja perlu adanya sikap kritis dan kewaspadaan dari para orang tua apabila melihat anak-anak yang terpapar doktrin radikalisme. Sementara itu, Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Dr Mohammad Kemal Dermawan, Msi menyarankan kepada masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih informasi yang ada dan menghindari berita-berita yang berisi provokasi yang tentunya bisa merugikan bangsa ini.
Pemerintah sendiri sebenarnya bisa melakukan berbagai upaya untuk menangkal sebaran informasi provokatif di masyarakat khususnya yang melalui dunia digital, salah satu caranya dengan menggiatkan ‘patroli cyber’. Karena secara teknologi, pemerintah melalui aparat penegak hukum bisa melakukan ‘patroli cyber’ untuk mengamankan konten-konten berita yang menghasut seperti berita hoax dan provokasi.
Patroli Cyber tentu saja tidak bisa membendung semua provokasi tentang radikalisme, sehingga generasi milenial dan gen Z perlu memiliki tameng untuk dirinya saat mengakses media sosial agar tidak mudah terprovokasi oleh paham yang tidak sejalan dengan Pancasila.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute