Oleh : Cindy Ramadhani
Editor : Ida Bastian
Pemerintah telah mencabut harga ceceran tertinggi (HET) minyak goreng. Hal itu dilaksanakan agar distribusi dan stok minyak goreng kembali melimpah di pasaran.
Minyak goreng adalah sembako yang sangat penting karena banyak yang membutuhkannya. Tak hanya ibu rumah tangga tetapi juga penjual makanan. Tak heran harga minyak amat diteliti oleh pembelinya karena berpegaruh terhadap isi dompet dan juga keuntungan berbisnis.
Kepala Badan Intelijen Negara Jendral Pol (Purn) Budi Gunawan menjelaskan, “Kebijakan pemerintah untuk mencabut HET akan melancarkan distribusi minyak goreng. Hal ini sesuai dengan hukum ekonomi supply and demand. Butuh waktu untuk menormalkan kembali dan juga pengawasan ketat.”
Dalam artian, memang HET dicabut sehingga harga minyak premium berada di kisaran 47.000-48.000 rupiah per 2 liter. Namun masyarakat tidak perlu khawatir karena hal ini untuk melancarkan distribusi. Buktinya saat ini kelangkaan minyak goreng di pasaran cenderung minim dan tidak ada lagi pembatasan untuk pembeliannya.
Masyarakat akhirnya mengerti maksud pemerintah dan memang betul bahwa minyak dengan mudah ditemui di pasar tradisional maupun supermarket. Distribusi benar-benar lancar, tidak seperti bulan lalu yang harus mengantri sampai berjubel di minimarket. Bahkan sampai ada minimarket yang pintu kacanya pecah berkeping-keping gara-gara tidak kuat menahan arus antrian pembeli yang ingin membeli minyak, sebelum toko dibuka.
Jika distribusi lancar maka akan lega karena bisa dengan mudah membelinya. Masyarakat juga tidak perlu khawatir akan harga minyak goreng karena sesuai dengan hukum ekonomi, banyaknya suplai barang akan menunurunkan harganya. Kita hanya perlu menunggu waktu sehingga harga minyak akan stabil lagi dan tidak terlalu jauh dari HET yang beberapa waktu lalu ditetapkan oleh pemerintah.
Sekarang kita ditanya, mau minyak murah tetapi langka sehingga kesusahan untuk menggoreng tempe atau minyak harganya sedikit naik tetapi mudah ditemui di pasaran? Tentu akan memilih yang kedua karena sembako ini jelas diperlukan oleh masyarakat. Ibu rumah tangga tidak khawatir karena harga minyak naik, yang penting mereka bisa memasak. Lagipula mereka optimis harganya bisa turun lagi.
Jika distribusi minyak lancar maka tidak akan ada yang menimbun, karena mereka dipastikan rugi. Pasalnya harga minyak goreng diprediksi akan turun lagi, jadi mereka tidak akan menimbun dan menyusahkan masyarakat.
Distribusi minyak memang perlu diperbaiki karena saat HET minyak goreng hanya 28.000 per 2 liter, para pedagang nakal malah mengekspornya agar mendapatkan untung besar. Namun ketika HET dicabut dan ada kenaikan biaya ekspor maka mereka membatalkannya, karena lebih untuk berjualan di Indonesia. Dengan begini maka penyaluran minyak goreng akan lancar lagi.
Bagi masyarakat yang kurang mampu untuk membeli minyak goreng sawit premium maka disarankan untuk belanja di pasar tradisional, karena di sana tersedia minyak goreng curah. Harganya masih disubsdi alias hanya 14.000 rupiah per liter. Sehingga ada solusi untuk memasak atau memproduksi gorengan dan dijual lagi dengan harga yang masih terjangkau.
Pencabutan harga eceran tertinggi minyak goreng tidak membuat masyarakat panik karena mereka bisa beralih untuk sementara ke minyak curah. Masyarakat mengerti bahwa pencabutan HET bukan berarti pelit subsidi. Melainkan cara yang sangat ampuh untuk kembali menormalkan distribusi minyak goreng ke pasaran di seluruh Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute