Oleh : Timotius Gobay
Editor: Ida Bastian
Portalindonews.com – Kelompok Separatis dan Teroris (KST) makin meresahkan karena terus mengusik warga Papua. Mirisnya, di antara anggota KST ada yang masih berstatus pemuda. Mereka jadi anak buah kelompok berbahaya tersebut karena faktor ekonomi. Para pemuda dihimbau untuk sadar diri dan keluar dari KST, lalu melanjutkan hidup sebagai warga negara yang nasionalis.
Salah satu problem yang belum terselesaikan di Papua adalah KST yang makin ganas. Mereka melakukan propaganda dan penyerangan terhadap warga sipil Papua, dan masih saja ngotot untuk memerdekakan diri. Padahal Papua adalah bagian yang sah dari Indonesia dan mereka tidak bisa berkelit dari hukum internasional, yang menyatakan bahwa bekas jajahan Belanda otomatis menjadi wilayah NKRI.
Mengapa KST terus eksis di Papua? Bahkan anggotanya terus ada padahal organisasi ini sudah terbentuk di era Orde Baru? Penyebabnya karena KST melakukan regenerasi dengan merekrut kader-kader baru dari para pemuda, bahkan dari kalangan anak-anak. Mereka tertarik untuk jadi anggota kelompok separatis, padahal sudah jelas terlarang, karena faktor ekonomi. Selain itu ada iming-iming senjata api sehingga pemuda tergiur untuk terlihat keren saat menggunakannya.
Direktur Kriminal Umum Polda Papua Komisaris Besar Faizal Rahmadani mengungkapkan banyak pemuda berusia di bawah 25 tahun di Papua yang bergabung dengan Kelompok Separatis dan Teroris (KST). Mereka diduga bergabung lantaran faktor ekonomi.
Kombes Faizal melanjutkan, para pemuda yang bergabung dengan KST kerap melakukan tindak kriminal. Dia berharap pemerintah daerah bersama pihak terkait merangkul para pemuda tersebut dengan membuka lapangan pekerjaan, sehingga mereka bisa memiliki pekerjaan dan kegiatan positif.
Dalam artian, para pemuda terdesak oleh keadaan lalu nekat bergabung dengan KST. Padahal mereka tak tahu bahwa kelompok separatis itu sepintas terlihat bagus di awal tetapi pada akhirnya sengsara. Kekuatan KST makin melemah dengan ditangkapnya para pemimpinnya seperti Toni Tabuni. Jika KST makin lemah maka sebentar lagi ia akan habis dan para anggotanya kebingungan.
Alasan ekonomi jangan dijadikan faktor utama untuk bergabung dengan KST. Bagaimana bisa para pemuda berharap gaji besar dari sebuah kelompok separatis, sedangkan mereka didesak untuk terus bergerilya? Tidak ada kepastian akan diberi makan apa, disediakan akomodasi dan gaji, dan lain sebagainya. Mereka harus mengutamakan logika dan jangan terbujuk rayuan anggota KST senior, karena sesungguhnya mereka sudah kekurangan uang sejak awal masa pandemi.
Bukti dari boboroknya keuangan KST adalah makin seringnya penyerangan sekaligus perampokan yang dilakukan oleh kelompok separatis tersebut. Mereka jalas tak punya uang untuk membeli berbagai kebutuhan pokok, oleh karena itu melakukan perampokan untuk sekadar bisa makan dan minum. Seharusnya para pemuda berkaca dari kasus-kasus KST yang sebelumnya dan tidak nekat untuk bergabung, karena tidak akan ada kekayaan yang didapatkan dari sana.
Kemudian, bukti lain dari runtuhnya keuangan KST adalah nakin banyak anggotanya yang menyerahkan diri, dan tahun lalu ada 21 orang mantan anggota yang dengan sadar kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Mereka yang telah menyerahkan diri mengaku bahwa selama bergerilya sering susah makan dan kedinginan di hutan. Jangan menjadi korban berikutnya dan para pemuda tak boleh nekat melanggar aturan, dengan bergabung ke KST.
Sementara itu, KST juga dikecam karena merekrut anak di bawah umur, selain para pemuda. Hasil penyelidikan dari Polres Intan Jaya menyatakan bahwa anak-anak SD direkrut oleh KST lalu ‘menghilang’ dan tiba-tiba muncul ke publik. Namun ia datang sambil membawa senjata api dan mencoba untuk menemba rakyat sipil.
Ditengarai kelompok yang merekrut anak SD tersebut adalah Sabius Waker cs. Mereka sudah beberapa bulan ini menculik anak SD lalu dilatih untuk jadi kader baru. Dikatakan menculik karena orang tua anak SD tersebut tidak tahu bahwa anak-anaknya dilatih jadi anggota KST.
Masyarakat mengecam aksi KST yang keterlaluan karena merekrut anak SD jadi penembak dan pemberontak. Meski yang diambil adalah protolan SD alias anak putus sekolah, tetapi tetap saja mereka belum cukup umur karena memang usianya belum 17 tahun. Anak-anak seharusnya belajar di rumah, jika memang sudah tak bersekolah. Namun malah dilatih untuk melawan aparat, sungguh mengenaskan!
Jika pentolan KST tertangkap maka bisa terkena pasal penculikan anak di bawah umur dan mendapat hukuman setimpal. Perlu ada penegasan dan penegakan hukum bagi KST terutama yang jadi perekrut anak-anak SD. Pasalnya ulah mereka sudah keterlaluan, dan membuat orang tua anak itu juga kehilangan.
Para pemuda dihimbau untuk tidak bergabung dengan KST karena kelompok separatis tersebut terlarang dan melanggar aturan Negara. Jangan jadikan faktor ekonomi sebagai alasan untuk bergabung, karena di KST tidak ada apa-apanya dan tidak bisa menumpuk kekayaan. Seharusnya para pemuda tergerak untuk berwirausaha dan tidak terbujuk oleh rayuan KST. Kelompok separatis tersebut juga terus diburu karena merekrut anak di bawah umur dan dikenakan pasal penculikan.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Gorontalo