Oleh : Rahmat Gunawan
Editor : Ida Bastian
Radikalisme dan terorisme amat berbahaya bagi perdamaian di Indonesia. Oleh karena itu radikalisme wajib dihalau, agar tidak menyebar dan menghancurkan bangsa. Salah satu caranya adalah dengan literasi digital. Jika semua orang memiliki kecakapan digital maka tidak akan terjebak hoaks dan propaganda di dunia maya, yang sengaja dibuat oleh kelompok radikal.
Media sosial (medsos) adalah tempat untuk eksis dan menambah teman lama, sekaligus bertemu kembali dengan kawan-kawan lama. Di Indonesia, pengguna media sosial amat banyak, bahkan netizen Indonesia masuk ke dalam 5 besar pengguna medsos terbanyak sedunia. Nyaris semua orang (terutama anak muda) sering upload foto di Instagram maupun media sosial lainnya.
Namun maraknya media sosial dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Mereka mulai masuk ke sana, baik di Instagram, Twitter, dan medsos lain. Mereka mengamati kegemaran masyarakat Indonesia yang seakan-akan tak bisa hidup tanpa medsos. Lantas membuat akun juga di sana, yang tujuannya menyebar hoaks, propaganda, dan konten-konten berisi radikalisme.
Kamarudin Hasan, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh, menyatakan bahwa konten digital yang mengandung radikalisme dan terorisme masuk ke dalam kategori post truth, yang bisa membodohi publik. Dampak dari radikalisme dan terorisme adalah perpecahan masyarakat. Dalam artian, masyarakat wajib mewaspadai konten-konten di media sosial, karena bisa jadi hanya rekaan dari kelompok radikal.
Sementara itu, konten kreator Kristayuana menyatakan bahwa individu yang memiliki kecakapan digital mampu memahami dan menggunakan gadget berikut dengan semua aplikasinya. Kecakapan digital penting untuk menyeleksi tiap hal yang didapat di internet. Masyarakat juga jangan mudah terkena hoax di internet.
Dalam artian, keganasan radikalisme di dunia maya bisa dihalau jika masyarakat memiliki kecakapan digital. Terutama di media sosial, karena semua orang bisa memiliki akun medsos sendiri, dan bisa memanipulasi umur dan tempat tinggal (karena tidak perlu menyertakan KTP atau kartu identitas resmi lainnya). Hal ini yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal dan mereka membuat akun medsos, dalam rangka mencari kader-kader baru.
Kelompok radikal membuat grup FB atau akun di Instagram, lalu mengisinya dengan berbagai konten. Pada umumnya, konten tersebut berisi hoax, yang membuat masyarakat membenci pemerintah tetapi malah pro radikalisme. Misalnya tentang ibadah saat pandemi. Di dalam hoaks, dinarasikan bahwa pemerintah melarang rakyat untuk beribadah. Padahal yang benar adalah saat pandemi, ibadah diatur agar mematuhi protokol kesehatan.
Masih banyak contoh hoaks dan propaganda yang dibuat oleh kelompok radikal. Masyarakat membacanya di media sosial atau grup WA, ketika ada yang mem-forward-nya. Di sinilah literasi digital sangat diperlukan agar tidak terjebak propaganda dan hoaks, serta terjebak berita-berita palsu yang merugikan.
Cara untuk meningkatkan literasi digital adalah dengan rajin membaca. Seringnya netizen Indonesia malas membaca dan bahkan hanya membaca judul beritanya saja, tanpa menyimak baik-baik isinya. Padahal sekarang banyak berita click-bait yang isi dan judulnya tidak sama, yang sengaja dibuat oleh kelompok radikal untuk menyesatkan masyarakat (dan mendulang dollar dari adsense).
Masyarakat perlu membaca dengan seksama jika ada berita, terutama yang didapatkan dari media sosial. Jangan hanya membaca sekilas lalu men-share dengan penuh emosi, karena bisa jadi itu hoaks yang dibuat oleh kelompok radikal. Membaca tidak butuh waktu lama dan bacanya harus pelan-pelan, untuk mencerna isinya.
Jika masyarakat Indonesia rajin membaca maka mereka akan tahu ciri-ciri berita yang asli dan berita hoaks (yang diproduksi oleh kelompok radikal). Biasanya berita hoaks didapatkan dari media yang namanya tidak lazim, atau malah webnya gratisan (bukan .com atau .co.id). Kualitas tulisannya juga pas-pasan.
Ketika ada berita hoaks maka masyarakat langsung melaporkannya ke polisi siber, karena merekalah aparat keamanan di dunia maya. Polisi siber akan mengusutnya lalu menemukan di mana IP-adress dari pengelola akun yang menyebarkan hoaks tersebut. Jika oknum radikal itu tertangkap maka akan membendung radikalisme di Indonesia.
Selain itu, masyarakat bisa meningkatkan kemampuan literasi digital dengan mengajarkannya sejak usia sekolah. Saat ini murid SD-pun sudah banyak yang memiliki HP. Mereka diajarkan agar tidak mudah percaya dengan orang baru yang dikenal di media sosial atau aplikasi game. Mereka juga diajarkan untuk membaca baik-baik dan tidak asal klik ‘yes’, apalagi jika belum mengerti bahasa Inggris.
Para orang tua juga diharap turut mengawasi anaknya dalam menggunakan media sosial. Mereka diarahkan untuk tidak terlalu sering melihat HP, tetapi memperbanyak aktivitas fisik di luar rumah. Kalau anak-anak main HP maka harus membaca baik-baik dan jangan asal follow seseorang di media sosial, karena bisa jadi ia adalah anggota kelompok radikal.
Kecakapan dalam literasi digital menjadi kunci dalam menghalau arus radikalisme, terutama di media sosial. Jika masyarakat melek literasi maka tidak akan terpengaruh oleh hoaks dan propaganda yang dibuat oleh kelompok radikal. Dengan cara ini maka radikalisme tidak bisa berkembang di Indonesia dan lama-lama punah.
*Penulis adalah kontributor Bunda Mulia Institute