MANOKWARI, Portalindonews.com – Pemerintah terus melakukan sosialiasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan. Sejatinya, KUHP ini baru efektif diberlakukan pada 2025, atau 3 tahun dari sekarang.
Pada 6 Desember 2022 RUU KUHP telah disetujui oleh DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang menggantikan KUHP turunan dari Belanda yang masa berlakunya di Indonesia sejak tahun 1918.
Hal tersebut dipaparkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember (Unej), Prof. Arief Amrullah saat menjadi narasumber pada acara sosialisasi KUHP baru di Hotel Swissbel Manokwari, Rabu (8/2).
Prof Arief mengungkapkan, lebih dari 100 tahun KUHP buatan Belanda itu berlaku di Indonesia. Namun, saat ini, Indonesia telah mempunyai UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan disahkan tanggal 2 Januari 2023, KUHP nasional terdiri dari Buku I dan Buku II, dengan jumlah Pasal sebanyak 624 pasal.
“Secara politik jika Indonesia masih menggunakan KUHP, berarti Indonesia masih dalam jajahan Belanda. Sedangkan secara sosiologis, KUHP (WvS) tidak mendasarkan pada konteks Bangsa Indonesia itu sendiri ,” ujar Prof Arief.
Acara yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) merupakan hasil kerjasama dengan Universitas Negeri Papua (Unipa) juga menampilkan narasumber lainnya, yaitu Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Profesor Romli Atmasasmita, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Pujiyono SH.M.Hum
Prof. Romli Atmasasmita, secara virtual, mengatakan bahwa urgensi mengganti KUHP versi WvS dengan KUHP Nasional menjadi langkah penting karena terdapat perubahan paradigma menjadi paradigma retributif seperti Keadilan Korektif, Keadilan Restoratif, dan Keadilan Rehabilitatif. Selain itu, secara politik hukum KUHP WvS tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Negera yaitu Pancasila.
“Perumusan KUHP Nasional menjadi penting karena sebagai perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional yang menyeluruh dengan mengadopsi nilai Pancasila sebagai budaya bangsa,” kata Prof Romli.
Sedangkan terkait isu-isu actual dalam KUHP, salah satunya tentang hukum adat atau Living Law, Prof Pujiono menjelaskan, living law adalah sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup. Namun, living law ini tetap ada batasannya, yakni berdasarkan Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat.
Sebelumnya, dalam sambutan pembukaan, Sekjen MAHUPIKI Dr. Ahmad Sofyan mengatakan bahwa sosialisasi KUHP Baru dirancang bukan hanya mendesiminasikan kepada masyarakat namun juga berdialog langsung dengan penyusunnya tentang KUHP Baru.
Senada dengan Sekjen Mahupiki, Rektor Universitas Papua Dr. Melky Sagrim menuturkan bahwa masyarakat perlu mengetahui KUHP Baru ini agar masyarakat memahami yang dilarang ataupun tidak dalam KUHP.