Oleh : Samuel Christian Galal
Editor: Ida Bastian
Portralindonews.com – Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/10) telah memutuskan bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai UU tidaklah melanggar ketentuan pembentukan perundang-undangan. Masyarakat pun mendukung keputusan tersebut, sehingga diharapkan dapat mengakhiri polemik terkait hal tersebut.
Masyarakat mendukung penuh MK yang telah secara resmi diumumkan tentang UU Ciptaker yang menilai bahwa kebijakan tersebut sama sekali tidak melanggar mandat dari konstitusi, dan justru seluruh permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon, yakni para buruh yang dinilai sudah tidak relevan lagi.
Sebagaimana diketahui, MK pada akhirnya telah memutuskan bahwa UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker sebagai UU atau ketentuan yang baru, sama sekali tidak melanggar dengan ketentuan pembentukan perundang-undangan.
Hal tersebut diputuskan oleh MK dalam sidang pembacaan pada putusan yang dihadiri oleh sebanyak 9 (sembilan) hakim konstitusi pada hari Senin, tanggal 2 Oktober 2023 lalu. Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman menegaskan pada saat membacakan amar putusan perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 bahwa MK menolak permohonan dari pihak pemohon untuk seluruhnya.
Sehingga, dengan adanya penolakan tersebut, maka gugatan dari para buruh pun sudah secara resmi ditolak dan pihak MK memutuskan bahwa Perppu Cipta Kerja sama sekali tidak cacat formil. Dalam pertimbangan itu, pihak majelis hakim menganggap bahwa dalil yang diajukan oleh para pemohon sama sekali tidak beralasan menurut hukum.
Disebutkan bahwa pertama, pihak pemohon mendalilkan kalau penetapan Peraturan Pemerintah Perppu Cipta Kerja menjadi UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melanggar konstitusi lantaran dilakukan pada masa sidang keempat, padahal Perppu tersebut diteken oleh Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi) pada masa sidang kedua.
Dari dalil pertama itu, pihak MK menganggap wajat jika pihak DPR membutuhkan waktu yang lama untuk menetapkan serangkaian Perppu itu menjadi sebuah Undang-Undang secara resmi, pasalnya, Perppu Cipta Kerja sendiri bersifat Omnibus, yang mana mencakup hingga sebanyak 78 UU lintas sektor.
Kemudian pihak majelis hakim juga menilai kalau parlemen dalam hal ini sama sekali tidak membuang-buang waktu untuk melakukan review pada Perppu itu sejak menerima surat Presiden, sehingga tuduhan atau gugatan ataupun dalil yang dikemukakan oleh para buruh dinilai keliru.
Untuk dalil kedua adalah pihak pemohon yang terdiri dari para buruh itu menilai bahwa penerbitan Perppu tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Namun, jelas sekali bahwa dalil gugatan yang diajukan oleh para buruh tersebut juga dianggap kurang benar lantaran pihak MK mengamini argumen dari Pemerintah RI yang disampaikan dalam persidangan, bahwa memang Perppu Cipta Kerja itu genting dan sangat penting untuk bisa sesegera mungkin diteken sehingga demi mengantisipasi bagaimana gejolak akan ketidakpastian ekonomi global yang tengah terjadi dan melanda dunia.
Sebagai informasi bahwa kegentian yang dimaksudkan tersebut berupa adanya krisis global yang tentunya sangat berpotensi dan berdampak secara sangat signifikan terhadap perekonomian di Tanag Air, sebagai akibat dari situasi geopolitik yang masih belum menentu sampai detik ini dikarenakan banyak hal, salah satunya adalah adanya konflik antara Rusia dengan Ukraina serta ditambah dengan situasi pasca krisis ekonomi yang terjadi akibat adanya pandemi Covid-19.
Bahkan sebenarnya, perdebatan mengenai kegentingan yang memaksa tersebut sama sekali sudah tidak relevan lagi apabila masih saja diajukan karena hal itu sebenarnya sudah selesai dibahas tatkala pihak parlemen, dalam hal ini DPR RI telah menyetujui akan penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang secara resmi beberapa waktu yang lalu. Sehingga sudah terjadi pembahasan akan perdebatan mengenai apakah penetapan Perppu Cipta Kerja itu bersifat genting atau tidak, dan sudah diambil keputusan jika aturan itu memang genting untuk bisa sesegera mungkin disahkan.
Dalil ketiga yang disampaikan oleh pihak buruh mengenai ketiadaan partisipasi bermakna dari publik dalam pembentukan Undang-Undang tersebut. Kemudian dengan tegas pula pihak MK menilai bahwa gugatan yang diajukan itu sama sekali tidak beralasan menurut hukum.
Tentunya bukan tanpa alasan, pasalnya sebenarnya partisipasi publik yang bermana itu tidak dapat dikenakan pada UU yang sifatnya adalah menetapkan Perppu, sebab keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang itu membutuhkan waktu yang cepat untuk bisa sesegera mungkin diundangkan karena adanya kegentingan yang memaksa yang sudah tuntas dibahas sebelumnya.
Kemudian, hasil akhirnya adalah, dengan menimbang seluruh pertimbangan hukum yang telah dikemukakan tersebut, termasuk bagaimana dalil gugatan yang diajukan oleh pihak pemohon yakni para buruh, maka pihak Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri berpendapat bahwa ternyata seluruh proses pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 itu sudah secara formil sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
Oleh karena itu, lantaran pembentukan UU Cipta Kerja sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi, maka ditetapkan secara resmi bahwa kebijakan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, seluruh dalil yang diajukan oleh pihak pemohon adalah sama sekali tidak beralasan menurut hukum.
Penulis adalah Analis pada Lembaga Gala Indomedia