Oleh : Dinar Defiara
Editor : Ida Bastian
Perekrutan radikalisme di Indonesia tidak lagi memandang status ekonomi, usia, jenis kelamin, ataupun tingkat Pendidikan. Di sektor Pendidikan pun infiltrasi paham radikalisme sudah mulai menggerogoti isi pikiran para pelajar maupun mahasiswa dari berbagai celah.
Saat ini, masyarakat dikejutkan dengan pemberitaan penangkapan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, jurusan Hubungan Internasional oleh Detasemen Khusus (Densus) 88. Mahasiswa berinisial IA (22) tersebut ditangkap di sebuah kos-kosan di Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang pada Senin, 23 Mei 2022.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri, Brigen Ahmad Ramadhan menduga mahasiswa tersebut menjadi simpatisan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang berperan sebagai penyebar propaganda radikal dan narasi negatif di media sosial. IA juga diduga sebagai pengumpul dana untuk membantu aksi-aksi ISIS di Indonesia.
Kasus yang viral ini diperkuat dengan ditemukannya sejumlah barang bukti oleh Densus 88 saat melakukan penggeledahan di kosan tempat tinggalnya. Barang bukti tersebut berupa bendera ISIS, senjata, busur dan anak panah, buku-buku arab tanpa harakat, paspor, dan juga laptop beserta flashdisk. Tidak hanya itu, IA juga terbukti berkomunikasi secara intens dengan tersangka MR, Anggota JAD yang berisikan pesan agar segera melancarkan aksi terorisme di fasilitas umum dan kantor polisi.
Berkaca dari penangkapan IA, anak muda memang rentan terpapar virus radikalisme. Hal tersebut disebabkan karena di fase inilah anak muda sedang mencari jati diri dan mencari paradigma baru dalam memahami suatu agama. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri juga bahwa saat ini kelompok teroris memang banyak menargetkan kalangan generasi muda. Ditambah, banyak mahasiswa yang merantau di luar kota sehingga jauh dari perlindungan dan pemantauan keluarga. Di saat lengah itulah kesempatan paham radikal masuk melalui internet dan media sosial untuk menghasut para pelajar dan mahasiswa.
Yang lebih menakutkannya lagi, para simpatisan kelompok radikal sudah mulai berani melakukan aksi lone wolf. Aksi lone wolf adalah aksi penyerangan yang dilakukan seorang diri. Aksi ini dinilai lebih berbahaya dibandingkan dengan aksi teror berkelompok karena mereka bergerak sangat cepat dan sebagian besar menyebar secara masif melalui media sosial.
Tentunya hal ini harus disikapi dengan serius agar sektor Pendidikan di Indonesia terbebas dari paham radikalisme. Kunci utama guna meminimalisasi paparan radikalisme tidak hanya dilakukan oleh mahasiswanya saja, melainkan semua pihak harus ikut terlibat termasuk pihak kampus itu sendiri. Mahasiswa harus menanamkan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi bangsa secara konsisten. Dengan diterapkannya nilai-nilai Pancasila ini berfungsi untuk menciptakan lingkungan Pendidikan yang nyaman, menumbuhkan rasa toleransi yang tinggi, dan mengembangkan sikap moderat bagi para mahasiswa.
Sedangkan pihak perguruan tinggi harus sudah mulai memetakan potensi lahirnya radikalisme di kampusnya masing-masing. Dengan memberikan pengetahuan terkait isu radikal seperti bom bunuh diri ataupun bahaya penegakan Khilafah di Indonesia sudah termasuk dalam meminimalisir lahirnya generasi muda kaum radikal.
Bagi sebagian orang membicarakan isu tersebut merupakan hal yang tabu, nyatanya literasi seperti itulah yang harus tertanam dipikiran dan jiwa setiap mahasiswa sejak masuk ke dalam perguruan tinggi. Penting bagi tiap Universitas di Indonesia untuk selalu waspada dan tidak boleh menganggap remeh bahkan mengabaikan persoalan radikalisme di lingkungan kampus. Hal itu bisa berdampak pada pembentukan kelompok militan yang berujung pada munculnya aksi-aksi teror di Indonesia yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
*Penulis adalah Pengamat Lembaga Kajian Radikalisme dan Terorisme Indonesia (LKRTI)