Oleh : Maria Pariri Hurlatu
Editor: Ida Bastian
Portlindonews.com – Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan bahwa Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan hanya itu, seluruh polemik politik di masa kemerdekaan sebenarnya juga sudah tuntas, sehingga tidak akan relevan lagi jika masih ada kelompok yang mempermasalahkan hal tersebut dan terus berupaya untuk menginginkan kemerdekaan wilayah di Bumi Cenderawasih.
Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Marsekal Muda Tentara Nasional Indonesia (Purnawirawan) Maroef Sjamsoeddin juga mengungkapkan bahwa polemik politik yang dulu sempat terjadi di Papua, kini seluruhnya telah selesai. Papua menjadi bagian dari NKRI.
Sejatinya, terjadinya konflik atau polemik politik di Papua merupakan sebab permasalahan dalam negeri di Indonesia, yang seluruhnya secara politik juga sudah selesai. Wilayah yang dulunya bernama Irian Jaya tersebut kemudian telah berganti nama menjadi Papua pada era kepemimpinan Presiden Republik Indonesia (RI) keempat, Abdurrahmn Wahid atau Gus Dur.
Memang fakta menunjukkan bahwa Papua sendiri merdeka dalam kurun waktu yang tidak bersamaan dengan wilayah lainnya di Tanah Air, yakni pada tahun 1945. Meski begitu, bukan berarti wilayah Papua bukan termasuk ke dalam bagian integral dari NKRI.
Pasalnya, setelah melalui referendum dan juga adanya keputusan yang ditetapkan oleh PBB di New York, kemudian dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya kala itu. Hasil dari Pepera yang telah dilakukan memutuskan bahwa Papua bergabung ke dalam NKRI, sehingga sebenarnya seluruh masalah politik yang terjadi pada waktu itu juga otomatis telah selesai.
Meski seluruh permasalahan ataupun polemik politik sudah selesai, akan tetapi terdapat perasaan yang masih kuat pada segelintir kalangan masyarakat di Bumi Cenderawasih, lantaran mereka menilai bahwa kemerdekaan Papua tidak sama kurun waktunya dengan kemerdekaan daerah lain di Indonesia, yakni pada tahun 1945.
Masih saja terdapat perasaan dari beberapa orang ataupun kelompok di Tanah Papua yang merasa kurang puas dengan kemerdekaan NKRI. Maka dari itu, setelah diadakannya Pepera dan juga resmi pihak PBB menetapkan putusan mereka yang memasukkan wilayah Irian Jaya (Papua saat ini) menjadi bagian integral dari Tanah Air pada sekitar tahun 1962-1963, kemudian sejumlah orang yang merasa tidak setuju dan masih belum puas itu mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Akan tetapi, nyatanya data juga menunjukkan bahwa OPM sendiri memiliki banyak faksi, yang mana beberapa diantaranya adalah terdapat faksi politik di dalam negeri, kemudian adanya faksi politik di luar negeri, serta ada pula faksi bersenjata yang sampai saat ini masih saja terus tersebar di wilayah pegunungan dan berbagai tempat lainnya di Papua. Seluruh faksi di dalam OPM yang berbeda-beda tersebut juga bergerak dengan panglima yang berbeda pula.
Terdapat faksi bersenjata, yang mana juga bisa dikatakan sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Mereka memiliki sekitar 13 Kodap, baik itu di wilayah Pegunungan dan juga Kabupaten lainnya. Antara satu panglima dengan lainnya juga bekerja secara sendiri-sendiri dan tidak saling terkoordinasi satu sama lain.
OPM sendiri tidak hanya bergerak di kalangan tua saja, mereka juga terus melebarkan sayapnya dengan bergerak di berbagai macam kalangan termasuk pada kalangan para pemuda untuk mencuci otak para generasi muda di Bumi Cenderawasih agar ikut andil dan menjadi simpatisan OPM. Mereka dengan terang-terangan dan tidak ragu untuk berupaya terus dalam mengibarkan bendera OPM dan membawa bendera tersebut bahkan saat adanya demo di depan Istana Negara di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sampai saat ini juga masih terdapat beberapa permasalahan, utamanya bagaimana upaya Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk terus menggandeng dan mengajak segelintir kelompok yang kurang puas tersebut agar bisa kembali ke pangkuan NKRI dan mengakui penuh kedaulatan bangsa serta menyadari bahwa Papua sendiri merupakan bagian integral dari bangsa ini.
Hal tersebut juga tentunya dikarenakan ada banyak tokoh dalam setiap faksi, sehingga menjadi salah satu kesulitan sendiri dalam melakukan negosiasi. Kejadian di Papua ini juga sangat berbeda jika dibandingkan dengan gerakan di Aceh lantaran mereka memiliki tokoh sentral sehingga ketika hendak menjalin sebuah negosiasi pun akan menjadi jauh lebih mudah.
Sungguh sudah tidak relevan lagi sebenarnya jika masih ada pihak ataupun segelintir orang yang tidak puas terkait Papua. Hal itu dikarenakan seluruh polemik atau masalah politik yang menyangkut wilayah tersebut sudah selesai sejak lama, dan pihak PBB pun telah menetapkan bahwa Papua bagian integral dari NKRI dan telah bersifat final.
Penulis adalah Mahasiswa Papua Tinggal di Bali