Oleh: M. T. Shabri
(Peneliti Muda Jatim Institute)
PORTALINDONEWS.COM, JatimInstitute – Sebuah bangunan megah berdiri kokoh sejak 1100 tahun yang lalu. Candi Borobudur, merupakan candi bercorak Buddha warisan Wangsa Sanjaya Kerajaan Medang. Sempat terlantar ketika Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bangunan ini ditemukan kembali sekitar tahun 1814-1816 M ketika Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jawa mendapat kabar bahwa ditemukan sebuah bangunan besar di dalam hutan Bumisegoro. Menindaklanjuti laporan tersebut, ia menugaskan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda untuk mengnyelidiki keberadaan monumen tersebut. Dalam waktu dua bulan Cornelius beserta anak buahnya mampu membersihkan lapisan tanah dan tumbuhan yang menutupi Candi Borobudur. Pekerjaan ini kemudian diteruskan oleh Hartman, seorang pejabat Pemerintah Belanda di Karesidenan Kedu. Hingga akhirnya pada tahun 1835 M, Candi Borobudur berhasil digali secara keseluruhan dan seluruh bentuk bangunannya dapat dilihat hingga sekarang.
Memiliki luas sekitar 2.500 m2 menjadikan Candi Borobudur sebagai monumen Buddha terbesar di dunia, serta dinobatkan sebgai salah satu dari enam warisan dunia dengan nomor 592/1992 oleh UNESCO. Hal ini menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia memiliki mahakarya agung dalam aspek budaya, khusunya dalam seni dan arsitektur. Penetapan tersebut membawa dampak positif untuk pariwisata Indonesia. Secara tidak langsung UNESCO telah mempromosikan Candi Borobudur sebagai destinasi wisata budaya ke seluruh dunia. Banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia demi melihat secara langsung kemegahan Candi Borobudur secara dekat.
Dalam data BPS Kab. Magelang, terdapat 3.566.285 wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Candi Borobudur pada tahun 2018. Angka ini bertambah menjadi 3.989.839 pengunjung di tahun 2019. Namun angka ini menurun pada tahun 2020 menjadi 997.250 pengunjung. Hal ini tentu disebabkan merebaknya pandemi virus Covid-19 yang menyebabkan sebagian besar orang tidak berani untuk berkumpul dalam jumlah besar di tempat yang sama.
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa jumlah pengunjung tahunan Candi Borobudur telah menyentuh angka jutaan di masa normal. Bahkan pada masa pandemi, angka tersebut hampir menyentuh satu juta pengunjung. Padahal Candi Borobudur sempat ditutup untuk umum mulai bulan Maret hingga Mei 2020, dan baru dibuka pada bulan Juni di tahun yang sama. Namun antusiasme masyarakat untuk berkunjung tetaplah tinggi meski dibayangi oleh Virus Covid-19.
Sebagai destinasi wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan, membuat Candi Borobudur berada dalam bahaya. Terhitung sejak awal dibuka sebagasi objek wisata pada tahun 1980 sampai tahun 2000, terdapat 35.766.820 wisatawan. Dengan banyaknya jumlah wisatawan tersebut, membuat batu penyusun struktur tangga candi telah mengalami keausan 1,2 – 1,5 cm pada tahun 2000. Permasalahan ini dapat terjadi karena alas kaki yang digunakan pengunjung membawa pasir sehingga terjadi gesekan dan menyebabkan keausan pada batuan candi. Apabila jumlah pengunjung yang sama dalam 20 tahun kedepan, batu-batu tersebut mengalami keausan yang semakin membahayakan, yaitu 3 cm. Keausan batu akan semakin cepat jika pengunjung candi mencapai 3.000.000 orang per tahun. Batu penyusun candi akan mengalami keausan 0,1 – 0,32 cm atau 2-6 cm di tahun 2020. Hal ini tentu menjadi suatu ancaman terhadap kelestarian Candi Borobudur itu sendiri jika tidak segera ditanggulangi.
Baru-baru ini Pemerintah Indonesia melalui Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, berencana untuk menaikkan harga tiket Candi Borobudur menjadi Rp. 750.000 untuk wisatawan lokal, 100 USD untuk wisatawan mancanegara, dan Rp. 5000 untuk pelajar. Namun tiket tersebut dikhusukan untuk yang ingin menaiki bangunan candi tersebut. Harga untuk memasuki pelataran candi masih tetap Rp. 50.000. Kebijakan tersebut diambil untuk membatasi pengunjung Candi Borobudur. Harapannya tentu untuk meminimalisir dampak negatif terhadap bangunan candi.
Namun banyak pro-kontra di tengah masyarakat ketika kebijakan tersebut diumumkan. Sebagian masyarakat menolak, karena dianggap terlalu mahal. Sebagian lainnya mendukung dengan alasan konservasi. Maka perlu adanya solusi alternatif guna menemukan jalan terbaik ditengah kegaduhan yang terjadi.
Menaikkan harga boleh-boleh saja, karena dalam upaya pelestarian situs diperlukan dana yang tentu tidak sedikit, dan beban tersebut tidak bisa dilimpahkan secara penuh pada APBN. Jika mengacu pada data diatas, maka setidaknya pendapatan Candi Borobudur pada tahun 2018 mencapai angka Rp. 178.314.250.000, Rp. 199.491.950.000 di tahun 2019, dan Rp. 49.862.500.000 pada tahun 2020. Sedangkan untuk perawatan rutin Candi Borobudur hanya menghabiskan sekitar satu milyar rupiah saja. Tentu angka tersebut bisa lebih tinggi jika banyak kerusakan yang terjadi. Tetapi dengan pemasukan yang diterima, harusnya masih bisa teralokasi untuk melakukan perawatan jika ada kerusakan besar.
Mengelola sebuah destinasi wisata budaya tidak bisa hanya dari sudut pandang bisnis atau keuntungan semata. Upaya pelestariannya juga harus dipikirkan. Terlebih ketika menyandang status warisan dunia. Dengan adanya status tersebut, maka situs tersebut merupakan milik seluruh masyarakat dunia. Namun pertanggung jawaban untuk menjaganya dibebankan pada negara di mana situs itu berada. Maka sudah sepatutnya pemerintah mengambil kebijakan preventif dan restoratif guna menjaga kelestarian situs yang ada. Tetapi dengan menaikkan harga secara drastis bukanlah suatu hal yang bijak. Terlebih jika pelayanan terhadap pengunjung tidak ada peningkatan. Jika menaikkan harga dirasa perlu, maka pelayanannya juga harus ditingkatkan. Salah satunya dengan pendampingan pemandu wisata. Banyak wisatawan berkunjung ke situs budaya hanya untuk mengambil foto dan pulang tanpa edukasi. Padahal salah satu fungsi cagar budaya adalah untuk mengedukasi.
Selain itu, pengunjung juga bisa lebih diawasi. Tidak jarang kita temui wisatawan yang melanggar peraturan, seperti menaiki atau duduk di atas stupa hingga vandalisme. Pelanggaran seperti inilah yang kemudian akan mempercepat kerusakan-kerusakan pada bangunan candi dan berdampak pada kelestariannya.
Dalam rangka menjaga keleatrian situs budaya, pemerintah melalui pengelola dapat melakukan pembatasan pengunjung dengan sistem kuota. Tiket dapat dipesan secara online sehingga sistem tersebut dapat terintegrasi dengan penghitungan kuota harian serta pendataan pengunjung bisa termonitor. Sistem seperti ini sudah dilakukan terlebih dahulu oleh pengelola destinasi wisata alam seperti Gunung Rinjani, Gunung Semeru, dan beberapa gunung lainnya. Hal ini dirasa lebih efektif ketimbang menaikkan harga sebegitu tingginya. Sebab, dengan berkurangnya pengunjung, kelestarian Candi Borobudur dapat lebih terjaga, hal ini selaras dengan program Kemenparekraf, yakni Destinasi Wisata Berbasis Sustainable Tourism.
Dengan pesatnya perkembangan zaman, pengelola dapat memanfaatkan teknologi berupa VR (Virtual Reality) untuk pengunjung yang ingin merasakan suasana menaiki bangunan candi, namun tidak mampu membeli harga tiket atau bagi mereka yang belum memesan kuota menaiki candi. Selain itu pengelola bisa menyediakan jasa edit foto dengan latar belakang Candi Borobudur untuk memuaskan hasrat swafoto pengunjung.
Sebenarnya masih banyak alternatif-alternatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk tetap memberikan edukasi mengenai budaya bangsa kepada masyarakat, tetapi tetap menjaga kelestarian Candi Borobudur. Mungkin salah satu cara termudah adalah dengan mengundang content creator seperti apa yang dilakukan pemerintah belakangan ini.
Menjaga dan merawat kelestarian situs warisan dunia bukanlah suatu opsi, melainkan sebuah keharusan untuk dilakukan. Tugas itu tidak bisa dijalankan oleh satu pihak saja. Mulai dari pemerintah, pengelola, sejarawan, arkeolog, pedagang, hingga pengunjung juga harus ikut serta dalam melaksanakannya. Hal ini dilakukan bukan serta-merta untuk keuntungan semata. Melainkan juga untuk kelestarian candi, agar bisa terus bertahan dan dirasakan oleh beberapa generasi milenia kedepan. ***