PORTALINDONEWS.COM, Dalam beberapa waktu terakhir ini, saya melihat Gembala Sofyan yang saya sayangi kembali mengirim beberapa part tulisan yang ditujukan langsung kepada saya dan meminta balasan dari saya.
Namun saya lihat ada kontradiksi karena tulisan tersebut menyebutkan nama saya, tapi pertanyaannya adalah tentang MENGAPA PEMERINTAH INDONESIA, artinya pertanyaan ini ditujukan kepada yang memiliki otoritas dipemerintahan untuk menjawab. Namun, sebagai anak yang baik dan juga warga negara yang taat, Saya akan menjelaskannya.
Saya perhatikan isi tulisan dari setiap part tersebut umumnya sama. Seluruh esensi narasi dan argumentasi Gembala Sofyan sebenarnya telah saya jawab di dua tulisan saya sebelumnya dan saya juga menyesali bahwa Gembala Sofyan terus mengutip secara selektif berbagai fakta dan narasi Laporan Sekjen PBB. Setelah amunisi beliau habis, kembali lagi diulang potongan kalimat atau keterangan yang tidak utuh dan bahkan bertentangan dengan pernyataan Ortiz Sanz sendiri.
Gembala Sofyan juga mengutip Presiden B.J. Habibie mengenai peribahasa ‘orang bodoh’ dan mengutip Prof. JE Sahetapy mengenai peribahasa ‘kebohongan’.
Pertanyaan saya, apakah setiap orang yang mengkritik Gembala Sofyan dalam membaca secara utuh Laporan Ortis-Sanz, tata persidangan PBB, dan Resolusi 2504, adalah orang-orang bodoh dan berbohong?
Apakah setiap orang yang berbeda pendapat dengan Gembala Sofyan dan bahkan memberikan klarifikasi dan pelurusan fakta kepada Gembala Sofyan adalah orang yang bodoh dan bohong?
Saya khawatir jika Gembala terus menerus mengangkat fakta laporan Ortis Sanz secara selektif, maka Gembala sama saja membangun pemahaman publik secara keliru. Sehingga bagaikan membangun rumah di atas pasir dan bukan di atas batu karang yang teguh. Karena ketika pemahaman tersebut dihantam oleh terang pengetahuan, maka bangunan pemahaman tersebut akan runtuh karena dibangun di atas pasir kekeliruan.
Gembala berbicara mengenai cacat hukum. Mari kita perhatikan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2020. Pada tahun 2019, UU Tahun 1969 mengenai Pembentukan Propinsi Otonom di Irian Barat digugat atau diuji materil ke Mahkamah Konstitusi. Intinya, agar Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut karena Pepera dilaksanakan secara cacat hukum.
Tuntutan tersebut ditolak Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU Pembentukan Propinsi Otonom tersebut adalah tindak lanjut atas suatu peristiwa hukum internasional yang sah.
Jika terdapat kekurangan dalam pelaksanaan suatu kegiatan demokrasi maka tiada pesta demokrasi yang tanpa kekurangan. Di tulisan saya sebelumnya saya sudah contohkan berbagai negara yang self-determinationnya tidak one-man one vote. Sebut saja Amerika sebagai negara demokrasi modern yang telah lebih dari dua ratus tahun hidup berbangsa dan bernegara.
Tentu pahitnya dinamika hidup kebangsaan mereka bisa jadi pelajaran berharga bagi kita. Negara yang dikenal sebagai demokrasi terbesar bahkan masih menggunakan sistem electoral college yang menyerahkan pemilunya hanya pada 538 orang saja. Apakah ratusan juta warga negara Amerika lainnya yang diwakili 538 orang tersebut merasa hak sipil dan politiknya dijajah?
Terkait hukum internasional, maka menarik untuk mengutip pendapat John Saltford dalam bukunya yang berjudul “The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962 – 1969” Buku ini dikutip juga oleh Gembala Socratez Yoman, namun saya ragu beliau memahami secara utuh posisi John Saltford dalam buku tersebut.
Contoh, dalam Bab Conclusion dari bukunya, John Saltford mengutip dan mendukung pendapat Mullerson bahwa “…there is no right to secession in international law…”
Terjemahan bebasnya, “…tidak ada hak untuk memisahkan diri dalam hukum internasional”
Bahkan John Saltford sendiri mengakui bahwa tidak ada hak memisahkan diri dalam hukum internasional!
Saltford kemudian menjelaskan pentingnya membuktikan bahwa minoritas Papua dijajah oleh mayoritas Indonesia. Menjadi pertanyaan saya, apakah kita sebagai Bangsa Papua atau Melanesia diperlakukan berbeda, dijajah hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya kita oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakannya?
Sebagai anak muda, saya pikir kita juga bisa mengkritik bahan bacaan yang ditulis oleh orang asing seperti John Saltford. Kita harus memahami asumsi dibalik klaim yang disuguhkan para peneliti asing tersebut. Kita harus bertanya, apa asumsi dasar yang mereka gunakan? Apakah mereka benar-benar ingin membantu atau merunyamkan/mempertajam permasalahan? Sepertinya pertanyaan-pertanyaan ini luput ditanyakan oleh Gembala Socratez kepada dirinya sendiri.
Kritikan saya adalah cara pandang John Saltford dalam bukunya justru terlalu menganggap Bangsa Papua sebagai bangsa inferior yang tidak mampu berpikir dan bertindak secara bebas. Bangsa Papua diposisikan sebagai objek dan bukan subjek, sebagai tawanan di Indonesia. Peneliti asing seperti John Saltford menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Memberikan resep jalan keluar atas segala permasalahan Bangsa Papua.
Tentu saya ingin ajak generasi muda untuk bertanya. Siapa yang menjadi Tuan Tanah di Bumi Papua saat ini? Apakah militer? Siapa yang mengisi jabatan publik di Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota, Desa, Militer, Kepolisian, Menteri? Apakah tidak ada orang Papua? Kita harus renungkan dengan baik bahwa untuk sampai hingga otonomi daerah telah melalui perjalanan panjang. Di balik Otda yang diterapkan di bumi Papua saat ini, ada upaya OAP untuk menjadi Tuan Tanah di Bumi Papua. Coba periksa nama-nama gubernur atau kepala daerah di Papua semenjak tahun 2000. Apakah mereka bukan OAP? Apakah Gembala Sofyan lebih bijak dibandingkan para pendahulu kita yang telah berjuang sebelum beliau? Apakah generasi Papua sebelumnya adalah generasi buta huruf yang tidak memahami situasi bangsa Papua dan tidak bisa berpikir secara bebas seperti yang John Saltford asumsikan?
Masih terkait hukum internasional, International Court of Justice (Mahkamah Internasional) dalam perkara Burkina Faso melawan Mali menyatakan prinsip hukum internasional uti possidetis iuris, yakni bahwa batas wilayah negara yang baru merdeka mengikuti batas wilayah negara penjajahnya. Karena itulah sejarah Papua bukan ditarik dari tahun 1969, melainkan dari tahun 1945 yang memang telah menjadi bagian dari Indonesia. Pepera tahun 1969 adalah menguatkan keberadaan Papua dalam Indonesia dan menandakan kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Terkait Pasal 46 UU Otsus 2001. Gembala Sofyan menuduh Indonesia menghapus Pasal tersebut. Saya hanya ingin mengajukan satu pertanyaan mendasar kepada Gembala Sofyan, apakah Pasal tersebut dihapus di UU amandemen Otsus yang terbaru? Jika tidak diamandemen maka artinya Pasal tersebut tetap ada. Sehingga tidak ada yang menghapus Pasal tersebut sebagaimana dituduhkan oleh Gembala Sofyan. Tentunya ini tuduhan yang tidak berdasar dan cenderung menghasut.
Matahari terbit dari Timur. Saya yakin suatu hari nanti putera-puteri Papua akan menduduki kursi pimpinan nasional yang tertinggi di Nusantara. Kiranya setiap insan Papua berkontribusi untuk membangun pemahaman yang utuh, tidak selektif dalam memaknai peristiwa penting seperti Pepera. Sehingga bangunan pemahaman tersebut kokoh karena dibangun di atas batu pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan pasir kekeliruan dan hasutan. Saya 100% Orang Papua, 100% Orang Indonesia.
Steve Rick Elson Mara, S.H., M.Han
Ketua Melanesian Youth Diplomacy Forum
(Sumber Penrem 172/PWY)