PORTALINDONEWS.COM, JAKARTA – Persoalan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Alutsista senilai Rp1.760 triliun, terus menjadi sorotan. Presiden Joko Widodo diminta mengambil alih. Bila perlu melarang Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengambil kebijakan yang tak masuk akal tersebut.
“Presiden perlu takeover. Ambil alih. Bahkan kalau diperlukan turun tangan. Mengingat Prabowo Subianto adalah menterinya. Sebagai Presiden, Jokowi berhak melarang anak buahnya. Jokowi jangan takut mengambil keputusan. Karena saya nilai DPR tidak akan memblok anggaran ini,” ujar Direktur Eksekutif Political and Policy Public Studies (P3S) Jerry Massie di Jakarta, Senin (7/6).
Menurutnya, Indonesia masih butuh biaya vaksin, dan pemulihan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi COVID-19. Karena itu, negara perlu menghemat anggaran. Termasuk memilah-milah mana program yang bisa langsung dirasakan oleh rakyat.
“Presiden perlu melihat persoalan alutsista Rp1.760 Triliun ini urgent atau tidak. Apa benefit (manfaat, Red) dan impact (dampak, Red) terhadap ekonomi Indonesia. Saya katakan pengadaan alutsista dengan nilai sebesar itu, punya high risk (beresiko tinggi, Red),” paparnya.
Staf ahli presiden, lanjut Jerry, harus mempelajari lebih dulu Raperpres tersebut. “Jika ini sampai terjadi, maka Jokowi akan meninggalkan legacy di periode keduanya dengan utang menumpuk,” terang Jerry.
Saat ini, negara sedang membutuhkan banyak uang. salah satunya untuk kebutuhan pembangunan ibukota baru. “PLN saja utangnya Rp649,2 triliun sampai akhir 2020. Begitu juga dengan Garuda Indonesia hingga Rp70 triliun. Masa harus ditambah beban dan utang lagi. Presiden kerap menyebut ‘Think out of the box’ . Ini perlu dilakukan. Karena sebuah keputusan tentu ada risikonya,” pungkas Jerry.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Farah Puteri Nahlia menegaskan fraksinya menolak rencana Kementerian Pertahanan (Kemhan) utang sebesar Rp1.760 Triliun untuk pembelian alutsista.
“Pertimbangan pertama, pembelian alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) dengan anggaran sebesar itu tergesa-gesa. Selain itu, belum terencana matang,” ujar Farah.
Dalam pertahanan Indonesia, lanjutnya, perlu membaca visi menjadi strategi. Kemudian, menjadi doktrin pertahanan untuk membuat peta jalan yang sesuai dengan Nawacita.
“Pertimbangan ini semata-mata sebagai bentuk proporsionalitas anggaran dan penentuan skala prioritas yang lebih seimbang,” imbuhnya.
Saat ini, Indonesia sedang menghadapi pandemi COVID-19. Karenanya, upaya penanganannya menjadi prioritas utama pemerintah agar ekonomi kembali pulih.
Menjaga ketahanan ekonomi masyarakat lebih urgen dilakukan, tanpa mengurangi visi strategis penguatan pertahanan militer. Pertimbangan lainnya, anggaran tersebut berisiko membuat utang Indonesia bertambah besar.
“Apalagi periode Maret 2021 utang Berjalan Pemerintah RI sudah mencapai Rp6.445,07 triliun. Jadi, seharusnya setiap pembiayaan negara perlu dihitung konsekuensi logis dan rasionalisasi penggunaannya,” papar Farah.
Sementara itu, pengamat pertahanan Andi Widjajanto meragukan dugaan PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) bisa memonopoli pengadaan alutsista senilai Rp1.760 triliun. Karena modal awal yang harus dimiliki terlalu besar. Perusahaan manapun akan sulit memenuhinya.
“Hitungannya sederhana dari Rp1.700 Triliun, penyertaan modalnya harus 30 persen dari jumlah tersebut. Artinya Rp600 triliun,” Andi di Jakarta, Senin (7/6).
Dari jumlah itu, PT TMI harus menyediakan dana paling tidak Rp200 triliun. Menurutnya jumlah itu terlalu besar. Dia meyakini tidak ada perusahaan yang bisa memenuhinya. termasuk BUMN sekalipun.
“Mengambil keseluruhan proyek senilai Rp1.700 Triliun dengan hitungan bisnis normal tidak akan bisa,” papar Andi. (*)